SARJANA PETERNAKAN, ANTARA PILIHAN DAN TAKDIR HIDUP
Oleh Abdurrahman Arraushany*
Gelar SPt (Sarjana Peternakan) telah saya raih Tahun 2005. Kini apa
yang bisa saya banggakan? Di tingkat 1 (semester 1 dan 2) saya termasuk
mahasiswa yang bingung menjawab pertanyaan ini. Seiring interaksi saya
dengan orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya yang semakin
intens maka saya mampu menjawab pertanyaan ‘sederhana’ ini dengan sangat
percaya diri.
Guru spiritual saya mengajarkan bahwa sebuah kebanggaan pada diri
kita akan muncul seiring dengan pemahaman kita terhadap nilai sebuah
amal (perbuatan). Oleh karena itu, jangan berbuat sesuatu jika nilai
amal tak bisa kita tentukan, yaitu nilai materi, kemanusiaan, moral yang
baik atau mengejar pahala. Kenapa? Tanpa nilai aktifitas apapun yang
kita lakukan akan berakhir pada kesia-siaan. Saya meyakini dengan
menjadi pelaku peternakan – yang diawali dengan menjadi mahasiswa lalu
menjadi sarjana peternakan – maka keempat nilai amal bisa kita raih
dengan sempurna.
Asa Di Kampus Peternakan
Sebagai anak petani, ternak menjadi bagian hidup saya. Sapi Peranakan
Ongole (PO) di Tuban-Jatim bahkan menyatu dengan dapur, meja makan dan
kamar tidur. Orangtua kami lahir di awal masa kemerdekaan dan memilih
profesi beternak dan bertani dengan methode ala tradisi nenek moyang.
Selalu didengungkan oleh mbah saya yang asli Jawa bahwa ternak itu bisa jadi tabungan dan rojokoyo bagi keluarga. Namun di tangan orangtua saya ternak bukan menjadi rojokoyo tapi koyorojo.
Faktanya bapak lebih mengutamakan ternaknya dibanding saya, anaknya. Di
rumah kami sapi tak dibiarkan diam tanpa mengkonsumsi pakan. Ngga ada
rumput di kandang? Tugas wajib bagi saya untuk memenuhi keranjang pakan.
Sapi butuh minum? Kami yang menyediakan. Sapi BAB? Kami yang
membersihkan. Sapi kena jerat tali? Kami yang melepas dan
membebaskannya. Sapi digigit ektoparasit? Kami yang mengusirnya. Sapi
sakit? Kami yang mengobatinya. Pokoknya sapi kami bak raja (koyorojo) dan kami si empunya bak abdi dalem. “Ya Allah, ada cara yang lebih baik kah untuk beternak?” Keluhan alay pelajar SD.
Di SMP saya menggembala domba dengan berbekal buku-buku motivasi yang
saya pinjam di perpustakaan sekolah. Di lahan pertanian yang berubah
menjadi padang penggembalaan saat musim kemarau domba-domba saya melahab
pakan dengan sangat kusyuk. Pikiran pun berkelebat, “Masa iya saya cuma
menggembala domba yang jumlahnya 12 ekor? Mestinya kan bisa ratusan
ekor.” Di lain hari muncul pikiran, “Kalau ratusan ekor domba yang saya
punya, gimana memberi pakan ternaknya yach? Kalao sakit bagaimana
solusinya agar ngga mati?”
Di SMA habits membaca pun masih terpelihara. Perpus sekolah
menjadi tempat pelarian di waktu senggang. Buku “Beternak Ayam Kampung”
tulisan Muhammad Rasyaf menarik perhatian saya. Saat tinggal di pondok
pesantren samping SMA, ada bangunan gudang yang tak terpakai. Muncul
ide, “Kenapa ngga saya gunakan untuk praktek pelihara ayam kampung
dengan menerapkan ilmu dari buku itu? Ah tinggal minta ijin ke pengasuh
pondok dan jika diijinkan urusan selesai.” Ijin pun keluar. Dua ekor
babon ayam kampung pun terbeli dari hasil menyisihkan uang saku. Dalam
tempo 5 bulan ayam kampung saya menjadi 70 ekor. Semuanya selamat sampai
umur 3 bulan. “Wah beternak itu ternyata asyik juga yach. Selain bisa
mengurangi stress, beternak ayam kampung juga bisa mendatangkan
penghasilan. Jika mau diseriusi tentu akan menjadi alternatif untuk
mendapatkan penghasilan di masa mendatang.”
Sekolah di SMA pun kelar. Saat berkunjung ke saudara di
Rembang-Jateng, sepupu saya tanya, “Kang, kau mau kuliah dimana? Ngambil
apa?” Bingung saya menjawabnya. “Kalao yang berkaitan dengan biologi
kira-kira jurusan apa yach? Ada saran saya kuliah di mana?”
Fakultas Peternakan Unpad Jurusan Produksi Ternak akhirnya menjadi
pilihan saya. Jurusan ini saya pilih karena terkait dengan genetika dan
pemuliaan, dua bidang yang sangat saya minati.
Manakah yang lebih baik, Unpad atau IPB? Kala itu saya belum tau
kalau peternakan UGM, Unsoed, Undip, UB, Udayana dan Unand juga bisa
menjadi alternatif yang baik. Maklum saja saya siswa kampung yang ngga
banyak mendapatkan informasi berharga tentang kampus peternakan yang
bonafit. Ke depan jika ada kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke
jenjang yang lebih tinggi sepertinya IPB, UGM, Unsoed, Undip, dan UB
menjadi 5 pilihan teratas.
“Jauh-jauh kuliah koq cuma ngambil jurusan peternakan? Lha wong
si Maman ngga kuliah aja bisa punya kambing banyak,” kata tetangga
belakang rumah saya. “Tuh lihat mas Sindhu, dia sarjana loh. Tuh masih
nganggur! Sarjana koq jadi pengangguran!” seru tetangga saya lainnya
‘menasihati’ agar saya meluruskan niat kuliah.
Namun hati saya bulat, saya memilih jurusan peternakan karena
kesadaran diri. Tak ada yang memaksa. Saya melihat bahwa peternakan di
kampung saya yang berada di kawasan hutan jati menyimpan ‘uranium’ yang
menunggu untuk saya gali. Terbukti, keluarga saya dan tetangga saya bisa
melipatgandakan uang dalam jumlah banyak dan tempo yang singkat dengan
jalan beternak. Ternak-ternak tersebut mampu merubah rumput dan limbah
pertanian dan industri yang tak bernilai di mata seseorang menjadi susu,
daging dan telur yang bernilai gizi tinggi. Selain itu ternak juga
mampu menyediakan tenaga kerja, biogas dan pupuk, berguna untuk
meningkatkan prestise, dan lainnya. Sebagai contoh di
Waru-Pamekasan-Jatim yang merupakan sentra Sapi Sonok Madura. Di sana
orang punya 2 mobil mewah itu sudah sangat biasa. Tapi jika ada orang
punya sepasang sapi sonok/kerap itu sangat luar biasa. Penghargaan yang
diberikan masyarakat pun ke pemilik Sapi Sonok/kerap sangat tinggi.
Bagaimana tidak selain harga sapi yang mencapai ratusan juta rupiah
sepasangnya, kepemilikan sapi sonok/kerap dinilai sebagai penjaga
tradisi budaya madura terkait sapi elit kelas tertinggi yang sangat
perlu dilestarikan.
Di kampus jelas kecerdasan skolastik saya digosok. Pun dengan
kecerdasan komunikasi. Untuk mempraktekkan ilmu peternakan yang didapat
di perkuliahan saya bergabung dengan UKM KPTU (Kelompok Profesi ternak
Unggas). Sempat menjabat sebagai Kepala Bagian Produksi di KPTU selama 2
periode kepengurusan. Sedangkan untuk urusan kecerdasan finansial maka
saya mengasahnya di Sucsess University (SU), yang didirikan oleh Andri
Maadsa, murid Purdi E Chanda, pendiri Bimbel Primagama.
IPK cumlaude? Ah itu perkara mudah. Serius. Asal ada kemauan kita
semua pasti bisa. Namun terkait dengan kecerdasan emosional dan
spiritual saya akui itu tidak mudah. Butuh pengalaman dan perlu ada hal
yang mendongkrak kecerdasan kita di dua bidang ini. Bahkan kalau dirasa
perlu kita menyengaja mengalami hal pahit dan menyakitkan pun ngga
masalah, untuk pembelajaran.
Bagaimana cara mendapatkan IPK cumlaude bahkan sempurna? Belajarlah
dan gunakan akal yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Belajarlah
kembali bagaimana cara belajar. Mind mapping karya Tony Buzan bisa menjadi pilihan yang baik. Cobalah dan Anda akan mendapatkan apa yang kalian mau.
Tapi bagi mahasiswa IPK tinggi juga perlu hati-hati. IPK tinggi itu
sangat baik. Namun Anda juga perlu mengasah kecerdasan emosional dan
spiritual. Caranya? Dengan aktif di organisasi intra dan esktra kampus.
Jadi jangan hanya menjadi mahasiswa 3 K (kampus, kamar dan kantin) saja.
Tetapi juga aktif mengasah kecerdasan komunikasi. Yakinlah bahwa
semakin banyak silaturahmi maka rejeki akan semakin lancar dan banyak.
Kenapa ini perlu ditekankan? Faktanya IPK hanya membantu saat proses
awal diterima atau tidaknya kita bekerja di perusahaan swasta atau di
lembaga pemerintahan. Selebihnya yang dibutuhkan adalah kecerdasan
emosional (termasuk komunikasi dan kemepimpinan) dan kecerdasan
spiritual. Pinter atau bodoh sama saja, yang penting sami’na wa atho’na pada pemimpin di mana kita bekerja. Percayalah.
Namun yang tak kalah penting bagi kita adalah persoalan niat. Apa sih
niat kita kuliah di peternakan? Cuma untuk meraih gelar sarjana agar
bisa mendapatkan pekerjaan? Apa cuma itu doang? Atau kuliah dijadikan
pelarian biar KTP kita tak tertera kata”pengangguran”? Atau apa? Niat
menentukan bagaimana perjalanan perkuliahan yang kita jalani. Salah niat
akan berakibat fatal. Apalagi ngga ada niat. Nah, kita bisa menebak
orang macam apa ini kan?
Dimana SPt Bisa Berkiprah?
Ini hidup kita. Kita yag menjalani. Orang lain bisa saja memberi
saran dan nasihat, namun kitalah yang menentukan warna apa dalam
kehidupan kita. Jika menggunakan konsep Robert T Kiyosaki maka ada 4
kuadran yang bisa kita masuki untuk mendapatkan penghasilan, yaitu:
employee (E), self employe (S), businessman (B) dan investor (I).
Profesi manakah yang terbaik? Menurut saya semuanya baik. Menjadi E, S, B
atau I adalah peran yang kita mainkan dan bukan ini persoalannya.
Ibarat dalam sebuah episode film, yang penting bukan menjadi apa kita,
tapi seberapa baik kita memerankan peran kita.
Namun perlu kita akui bahwa masih saja ada orang B atau I yang
memandang hina dan remeh orang yang memilih E dan S. Sedangkan orang E
dan S kadang juga merasa bahwa dirinya berguna dengan mengeluarkan kata
andalannya ‘Kalau tidak ada saya maka…….bla….bla…bla…..” Akankah
perseteruan ini berakhir?
Kita hormati pilihan masing-masing orang. Yang memilih menjadi E,
bekerjalah yang baik. Yang memilih S, berkaryalah yang baik. Yang
menjadi B dan I yakinkan diri bahwa wujudihi ka adamihi (ada
dan tidak adanya kita sama saja) tak disematkan di pundak kita. Orang B
dan I perlu memastikan bahwa proses yag dijalani benar-benar bisa
menyelamatkan diri dan keluarganya di dunia dan akhirat. Inilah yang
barangkali perlu dipikirkan mereka yang mengagungkan profesi B dan I.
Andakah orang yang telah melewati semua profesi menjadi S, E, B dan
I? Apa yang Anda rasakan? Jika bukan Anda, carilah mereka. Bertanyaah
kepada mereka. Jika ia bijaksana maka jawaban mereka pastilah akan
membesarkan hati bukan malah meruntuhkan kepercayaan diri.
Orang sukses di sekitar kita tentu boleh kita iri. Iri loh ya bukan
hasad (dengki). Iri yang membangun. Bukankah kita dibolehkan iri kepada
mereka yang berharta melimpah sehingga bisa membangun ruimah sakit,
sekolah, bersodaqoh, berhaji dan membantu perjuangan Islam sehingga
Islam dan umatnya bisa menjadi rahmat bagi semesta alam? Bukankah kita
juga dibolehkan iri kepada mereka yang berilmu tinggi yang menerapkan
ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, yang dengannya ia
menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat jalan dan orang yang lagi
kebingungan?
Jadi masihkah bertanya, “Setelah menjadi sarjana peternakan saya
bekerja dimana?” Pertanyaan itu sebaiknya dirubah saja, “Setelah saya
menjadi sarjana, karya apa yang perlu saya lakukan agar saya bisa
meninggalkan jejak di bumi? Sebuah karya yang menjelma menjadi bukti
bahwa saya pernah dilahirkan, dibesarkan dan berpengaruh positif bagi
kehidupan manusia?”
Peternakan, Antara Takdir dan Pilihan Hidup
Jadilah kita orang yang bertanggungjawab atas hidup kita. Bukankah
apapun yang terjadi dalam kehidupan kita terdiri dari dua area? Yakni
area yang menguasai kita yang disebut qadla atau takdir dan area yang
kita kuasai atau area ikhtiari? Di area pertama (area takdir) kita
dipaksa untuk menerima kenyataan tanpa kita mampu menolak, entah
kenyataan itu baik ataupun buruk menurut kacamata kita. Sedangkan di
area kedua, area ikhtiari, kita bisa memilih antara melakukan atau
meninggalkan sebuah aktifitas. Ada kebebasan memilih.
Nah, di suatu masa kita telah memutuskan untuk memilih menjadi
mahasiswa peternakan. Dan ketika bersabar menjalani proses tersebut
(sekitar 4 tahun) maka kita bisa meraih gelar sarjana peternakan dari
kampus pilihan kita. So, apakah masih ada yang menganggap bahwa menjadi
mahasiswa peternakan adalah sebuah takdir? Benarkah itu takdir? Benarkah
kita tak bisa mengelak dan dipakasa harus menjalaninya?
Hidup kita yang menjalani. Kelak, masing-masing kita akan
mempertangungjawabkan perjalanan hidup kita masing-masing. Oleh karena
itu, terimalah pilihan yang telah kita buat di masa lalu. Dan
bertanggungjawablah. Dengan sikap dan pola pikir yang benar, semoga kita
menjelma menjadi mahasiswa dan sarjana peternakan tangguh yang mampu
berkarya demi kebaikan negeri. Aamiin.
======
*Abdurrahman Arraushany adalah nama
pena dari Abdul Rohman, SPt (Pengawas Bibit Ternak Ahli Pertama di UPT
Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa
Timur).
(Artikel ini pernah dimuat di Web Fapet Unsoed => http://husbandrynews.com/sarjana-peternakan-antara-pilihan-dan-takdir-hidup/?i=1 Pada 16/12/2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar