Minggu, 26 Februari 2017

Sarjana Peternakan, Antara Pilihan dan Takdir Hidup

SARJANA PETERNAKAN, ANTARA PILIHAN DAN TAKDIR HIDUP


Oleh Abdurrahman Arraushany* 
 
Gelar SPt (Sarjana Peternakan) telah saya raih Tahun 2005. Kini apa yang bisa saya banggakan? Di tingkat 1 (semester 1 dan 2) saya termasuk mahasiswa yang bingung menjawab pertanyaan ini. Seiring interaksi saya dengan orang-orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya yang semakin intens maka saya mampu menjawab pertanyaan ‘sederhana’ ini dengan sangat percaya diri.

Guru spiritual saya mengajarkan bahwa sebuah kebanggaan pada diri kita akan muncul seiring dengan pemahaman kita terhadap nilai sebuah amal (perbuatan). Oleh karena itu, jangan berbuat sesuatu jika nilai amal tak bisa kita tentukan, yaitu nilai materi, kemanusiaan, moral yang baik atau mengejar pahala.  Kenapa? Tanpa nilai aktifitas apapun yang kita lakukan akan berakhir pada kesia-siaan. Saya meyakini dengan menjadi pelaku peternakan – yang diawali dengan menjadi mahasiswa lalu menjadi sarjana peternakan – maka keempat nilai amal bisa kita raih dengan sempurna.

Asa Di Kampus Peternakan 

Sebagai anak petani, ternak menjadi bagian hidup saya. Sapi Peranakan Ongole (PO) di Tuban-Jatim bahkan menyatu dengan dapur, meja makan dan kamar tidur. Orangtua kami lahir di awal masa kemerdekaan dan memilih profesi beternak dan bertani dengan methode ala tradisi nenek moyang.

Selalu didengungkan oleh mbah saya yang asli Jawa bahwa ternak itu bisa jadi tabungan dan rojokoyo bagi keluarga. Namun di tangan orangtua saya ternak bukan menjadi rojokoyo tapi koyorojo. Faktanya bapak lebih mengutamakan ternaknya dibanding saya, anaknya. Di rumah kami sapi tak dibiarkan diam tanpa mengkonsumsi pakan. Ngga ada rumput di kandang? Tugas wajib bagi saya untuk memenuhi keranjang pakan. Sapi butuh minum? Kami yang menyediakan. Sapi BAB? Kami yang membersihkan. Sapi kena jerat tali? Kami yang melepas dan membebaskannya. Sapi digigit ektoparasit? Kami yang mengusirnya. Sapi sakit? Kami yang mengobatinya. Pokoknya sapi kami bak raja (koyorojo) dan kami si empunya bak abdi dalem.  “Ya Allah, ada cara yang lebih baik kah untuk beternak?” Keluhan alay pelajar SD.

Di SMP saya menggembala domba dengan berbekal buku-buku motivasi yang saya pinjam di perpustakaan sekolah. Di lahan pertanian yang berubah menjadi padang penggembalaan saat musim kemarau domba-domba saya melahab pakan dengan sangat kusyuk. Pikiran pun berkelebat, “Masa iya saya cuma menggembala domba yang jumlahnya 12 ekor? Mestinya kan bisa ratusan ekor.” Di lain hari muncul pikiran, “Kalau ratusan ekor domba yang saya punya, gimana memberi pakan ternaknya yach? Kalao sakit bagaimana solusinya agar ngga mati?”

Di SMA habits membaca pun masih terpelihara. Perpus sekolah menjadi tempat pelarian di waktu senggang. Buku “Beternak Ayam Kampung” tulisan Muhammad Rasyaf menarik perhatian saya. Saat tinggal di pondok pesantren samping SMA, ada bangunan gudang yang tak terpakai. Muncul ide, “Kenapa ngga saya gunakan untuk praktek pelihara ayam kampung dengan menerapkan ilmu dari buku itu? Ah tinggal minta ijin ke pengasuh pondok dan jika diijinkan urusan selesai.” Ijin pun keluar. Dua ekor babon ayam kampung pun terbeli dari hasil menyisihkan uang saku. Dalam tempo 5 bulan ayam kampung saya menjadi 70 ekor. Semuanya selamat sampai umur 3 bulan. “Wah beternak itu ternyata asyik juga yach. Selain bisa mengurangi stress, beternak ayam kampung juga bisa mendatangkan penghasilan. Jika mau diseriusi tentu akan menjadi alternatif untuk mendapatkan penghasilan di masa mendatang.”

Sekolah di SMA pun kelar. Saat berkunjung ke saudara di Rembang-Jateng, sepupu saya tanya, “Kang, kau mau kuliah dimana? Ngambil apa?” Bingung saya menjawabnya. “Kalao yang berkaitan dengan biologi kira-kira jurusan apa yach? Ada saran saya kuliah di mana?”

Fakultas Peternakan Unpad Jurusan Produksi Ternak akhirnya menjadi pilihan saya. Jurusan ini saya pilih karena terkait dengan genetika dan pemuliaan, dua bidang yang sangat saya minati.

Manakah yang lebih baik, Unpad atau IPB? Kala itu saya belum tau kalau peternakan UGM, Unsoed, Undip, UB, Udayana dan Unand juga bisa menjadi alternatif yang baik.  Maklum saja saya siswa kampung yang ngga banyak mendapatkan informasi berharga tentang kampus peternakan yang bonafit.  Ke depan jika ada kesempatan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi sepertinya IPB, UGM, Unsoed, Undip, dan UB menjadi 5 pilihan teratas.

“Jauh-jauh kuliah koq cuma ngambil jurusan peternakan? Lha wong si Maman ngga kuliah aja bisa punya kambing banyak,” kata tetangga belakang rumah saya. “Tuh lihat mas Sindhu, dia sarjana loh. Tuh masih nganggur! Sarjana koq jadi pengangguran!” seru tetangga saya lainnya ‘menasihati’ agar saya meluruskan niat kuliah.

Namun hati saya bulat, saya memilih jurusan peternakan karena kesadaran diri. Tak ada yang memaksa.  Saya melihat bahwa peternakan di kampung saya yang berada di kawasan hutan jati menyimpan ‘uranium’ yang menunggu untuk saya gali. Terbukti, keluarga saya dan tetangga saya bisa melipatgandakan uang dalam jumlah banyak dan tempo yang singkat dengan jalan beternak. Ternak-ternak tersebut mampu merubah rumput dan limbah pertanian dan industri yang tak bernilai di mata seseorang menjadi susu, daging dan telur yang bernilai gizi tinggi. Selain itu ternak juga mampu menyediakan tenaga kerja, biogas dan pupuk, berguna untuk meningkatkan prestise, dan lainnya. Sebagai contoh di Waru-Pamekasan-Jatim yang merupakan sentra Sapi Sonok Madura. Di sana orang punya 2 mobil mewah itu sudah sangat biasa. Tapi jika ada orang punya sepasang sapi sonok/kerap itu sangat luar biasa. Penghargaan yang diberikan masyarakat pun ke pemilik Sapi Sonok/kerap sangat tinggi. Bagaimana tidak selain harga sapi yang mencapai ratusan juta rupiah sepasangnya, kepemilikan sapi sonok/kerap dinilai sebagai penjaga tradisi budaya madura terkait sapi elit kelas tertinggi yang sangat perlu dilestarikan.

Di kampus jelas kecerdasan skolastik saya digosok. Pun dengan kecerdasan komunikasi. Untuk mempraktekkan ilmu peternakan yang didapat di perkuliahan saya bergabung dengan UKM KPTU (Kelompok Profesi ternak Unggas). Sempat menjabat sebagai Kepala Bagian Produksi di KPTU selama 2 periode kepengurusan.  Sedangkan untuk urusan kecerdasan finansial maka saya mengasahnya di Sucsess University (SU), yang didirikan oleh Andri Maadsa, murid Purdi E Chanda, pendiri Bimbel Primagama.

IPK cumlaude? Ah itu perkara mudah. Serius. Asal ada kemauan kita semua pasti bisa. Namun terkait dengan kecerdasan emosional dan spiritual saya akui itu tidak mudah. Butuh pengalaman dan perlu ada hal yang mendongkrak kecerdasan kita di dua bidang ini. Bahkan kalau dirasa perlu kita menyengaja mengalami hal pahit dan menyakitkan pun ngga masalah, untuk pembelajaran.
Bagaimana cara mendapatkan IPK cumlaude bahkan sempurna? Belajarlah dan gunakan akal yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Belajarlah kembali bagaimana cara belajar. Mind mapping karya Tony Buzan bisa menjadi pilihan yang baik. Cobalah dan Anda akan mendapatkan apa yang kalian mau.

Tapi bagi mahasiswa IPK tinggi juga perlu hati-hati. IPK tinggi itu sangat baik. Namun Anda juga perlu mengasah kecerdasan emosional dan spiritual. Caranya? Dengan aktif di organisasi intra dan esktra kampus. Jadi jangan hanya menjadi mahasiswa 3 K (kampus, kamar dan kantin) saja. Tetapi juga aktif mengasah kecerdasan komunikasi. Yakinlah bahwa semakin banyak silaturahmi maka rejeki akan semakin lancar dan banyak. Kenapa ini perlu ditekankan? Faktanya IPK hanya membantu saat proses awal diterima atau tidaknya kita bekerja di perusahaan swasta atau di lembaga pemerintahan. Selebihnya yang dibutuhkan adalah kecerdasan emosional (termasuk komunikasi dan kemepimpinan) dan kecerdasan spiritual. Pinter atau bodoh sama saja, yang penting sami’na wa atho’na pada pemimpin di mana kita bekerja. Percayalah.

Namun yang tak kalah penting bagi kita adalah persoalan niat. Apa sih niat kita kuliah di peternakan? Cuma untuk meraih gelar sarjana agar bisa mendapatkan pekerjaan? Apa cuma itu doang? Atau kuliah dijadikan pelarian biar KTP kita tak tertera kata”pengangguran”? Atau apa? Niat menentukan bagaimana perjalanan perkuliahan yang kita jalani. Salah niat akan berakibat fatal. Apalagi ngga ada niat. Nah, kita bisa menebak orang macam apa ini kan?

Dimana SPt Bisa Berkiprah?

Ini hidup kita. Kita yag menjalani. Orang lain bisa saja memberi saran dan nasihat, namun kitalah yang menentukan warna apa dalam kehidupan kita. Jika menggunakan konsep Robert T Kiyosaki maka ada 4 kuadran yang bisa kita masuki untuk mendapatkan penghasilan, yaitu: employee (E), self employe (S), businessman (B) dan investor (I). Profesi manakah yang terbaik? Menurut saya semuanya baik. Menjadi E, S, B atau I adalah peran yang kita mainkan dan bukan ini persoalannya. Ibarat dalam sebuah episode film, yang penting bukan menjadi apa kita, tapi seberapa baik kita memerankan peran kita.

Namun perlu kita akui bahwa masih saja ada orang B atau I yang memandang hina dan remeh orang yang memilih E dan S. Sedangkan orang E dan S kadang juga merasa bahwa dirinya berguna dengan mengeluarkan kata andalannya ‘Kalau tidak ada saya maka…….bla….bla…bla…..”  Akankah perseteruan ini berakhir?

Kita hormati pilihan masing-masing orang. Yang memilih menjadi E, bekerjalah yang baik. Yang memilih S, berkaryalah yang baik. Yang menjadi B dan I yakinkan diri bahwa wujudihi ka adamihi (ada dan tidak adanya kita sama saja) tak disematkan di pundak kita. Orang B dan I perlu memastikan bahwa proses yag dijalani benar-benar bisa menyelamatkan diri dan keluarganya di dunia dan akhirat. Inilah yang barangkali perlu dipikirkan mereka yang mengagungkan profesi B dan I.

Andakah orang yang telah melewati semua profesi menjadi S, E, B dan I? Apa yang Anda rasakan? Jika bukan Anda, carilah mereka. Bertanyaah kepada mereka. Jika ia bijaksana maka jawaban mereka pastilah akan membesarkan hati bukan malah meruntuhkan kepercayaan diri.

Orang sukses di sekitar kita tentu boleh kita iri. Iri loh ya bukan hasad (dengki). Iri yang membangun. Bukankah kita dibolehkan iri kepada mereka yang berharta melimpah sehingga bisa membangun ruimah sakit, sekolah, bersodaqoh, berhaji dan membantu perjuangan Islam sehingga Islam dan umatnya bisa menjadi rahmat bagi semesta alam? Bukankah kita juga dibolehkan iri kepada mereka yang berilmu tinggi yang menerapkan ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, yang dengannya ia menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat jalan dan orang yang lagi kebingungan?

Jadi masihkah bertanya, “Setelah menjadi sarjana peternakan saya bekerja dimana?” Pertanyaan itu sebaiknya dirubah saja, “Setelah saya menjadi sarjana, karya apa yang perlu saya lakukan agar saya bisa meninggalkan jejak di bumi? Sebuah karya yang menjelma menjadi bukti bahwa saya pernah dilahirkan, dibesarkan dan berpengaruh positif bagi kehidupan manusia?”

Peternakan, Antara Takdir dan Pilihan Hidup

Jadilah kita orang yang bertanggungjawab atas hidup kita. Bukankah apapun yang terjadi dalam kehidupan kita terdiri dari dua area? Yakni area yang menguasai kita yang disebut qadla atau takdir dan area yang kita kuasai atau area ikhtiari? Di area pertama (area takdir) kita dipaksa untuk menerima kenyataan tanpa kita mampu menolak, entah kenyataan itu baik ataupun buruk menurut kacamata kita. Sedangkan di area kedua, area ikhtiari, kita bisa memilih antara melakukan atau meninggalkan sebuah aktifitas. Ada kebebasan memilih.

Nah, di suatu masa kita telah memutuskan untuk memilih menjadi mahasiswa peternakan. Dan ketika bersabar menjalani proses tersebut (sekitar 4 tahun) maka kita bisa meraih gelar sarjana peternakan dari kampus pilihan kita. So, apakah masih ada yang menganggap bahwa menjadi mahasiswa peternakan adalah sebuah takdir? Benarkah itu takdir? Benarkah kita tak bisa mengelak dan dipakasa harus menjalaninya?

Hidup kita yang menjalani. Kelak, masing-masing kita akan mempertangungjawabkan perjalanan hidup kita masing-masing. Oleh karena itu, terimalah pilihan yang telah kita buat di masa lalu. Dan bertanggungjawablah. Dengan sikap dan pola pikir yang benar, semoga kita menjelma menjadi mahasiswa dan sarjana peternakan tangguh yang mampu berkarya demi kebaikan negeri. Aamiin.



======
*Abdurrahman Arraushany adalah nama pena dari Abdul Rohman, SPt (Pengawas Bibit Ternak Ahli Pertama di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur).

(Artikel ini pernah dimuat di Web Fapet Unsoed => http://husbandrynews.com/sarjana-peternakan-antara-pilihan-dan-takdir-hidup/?i=1 Pada 16/12/2015)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar