DONGKRAK PERAN ISPI UNTUK PETERNAKAN INDONESIA LEBIH BAIK
Oleh: Abdurrahman Arraushany*
Ryan Perdana pernah menyatakan, “Indonesia merupakan potongan tanah syurga yang jatuh ke bumi. Indonesia diciptakan ketika Tuhan sedang ceria dan tersenyum bahagia. Imbasnya, Indonesia dikirimi sedemikian besar kenikmatan yang susah dicari tandingannya di muka bumi. Iklim tropisnya sangat pas, bersuhu hangat dan tidak ekstrim. Keanekaragaman hayatinya luar biasa. Kekayaan bahan tambang dan mineralnya seolah tanpa batas. Indonesia bak perawan bertubuh molek yang sedang ranum-ranumnya, sehingga memancing siapapun yang melihatnya untuk segera mencecap segala potensi jiwa raganya.”
Sepertinya ucapan di atas benar adanya.
Tidak diragukan lagi. Disebabkan hal itulah barangkali di masa lalu nenek moyang kita memilih menjadi pelaut ulung yang menjelajah pulau demi pulau dalam rangka melakukan perdagangan dan bisnis. Baik hal itu dilakukan dengan negeri terdekat maupun negeri yang sangat jauh (seperti China, Mesir, Jazirah Arabia, dll).
Namun, seiring dengan kedatangan para imperialis penjajah Barat (Portugis, Belanda, Perancis, Inggris, AS) dan Timur (Jepang), di mana mereka melakukan upaya sistematis dengan menguasai jalur laut dan perdagangan, telah memaksa rakyat dan bangsa Indonesia untuk kemudian lari ke pedalaman dan terjauhkan dari penguasaan pasar. Hal ini ternyata sangat nyata membawa dampak semakin melemahnya kekuatan ekonomi rakyat dan bangsa (yang awalnya bertumpu pada penguasaan jalur laut dan perdagangan) dan berganti haluan menjadi petani/peternak/ pekebun/nelayan atau puas menjadi pegawai (PNS/perusahaan swasta) yang jauh dari sifat dan sikap seorang Saudagar (pengusaha/ entreupreuner).
Data BPS 2013 bahkan menyebutkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia (sekitar 60%) memilih atau terpaksa hidup dari sektor pertanian dan bekerja sebagai petani, pekebun, peternak dan juga nelayan. Sudah sejahterakan mereka? Survey membuktikan, kantong-kantong kemiskinan ternyata sangat dekat dengan kehidupan mereka, baik yang tinggal di perdesaan, bantaran sungai atau pinggiran kota.
*****
Di negeri ini telah ditemukan tidak kurang dari 945 jenis tanaman asli Indonesia. Jika dirinci: 77 jenis sumber karbohidrat, 75 jenis sumber lemak/minyak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis bahan minuman, 110 jenis rempah-rempah dan aneka bumbu, dan sekitar 17% spesies hewan/ternak dunia. Namun dari potensi sumberdaya hayati (flora dan fauna) serta sumberdaya alam lainnya yang sangat besar ini, masih banyak yang belum kita olah dan kita manfaatkan secara optimal.
Ironisnya, sebagian besar kebutuhan pangan kita justru telah tergantung pasokan dari negara lain.
Menurut berbagai sumber disebutkan bahwa importasi Indonesia atas komoditas pangan dari tahun ke tahun jenisnya semakin banyak dan jumlahnya pun semakin menggelembung. Ini terjadi seiring dengan bertambahnya jumlah perut dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pangan bergizi bagi tubuh dan kecerdasan. Adapun komoditas yang masih saja diimpor antara lain: beras 3,7 juta ton; gandum 4,5 juta ton; gula 1,6 juta ton; kedelai 1,3 juta ton; bungkil kedelai 1 juta ton; jagung 1,3 juta ton; ternak sapi 450,000 ekor; daging dan jeroan 42 ribu ton; dan susu, mentega, keju 170 ribu ton setiap tahunnya. Oh iya, kita juga impor komoditas garam, aneka buah dan sayuran, serta barang-barang kebutuhan lainnya.
Hal tersebut menggambarkan dengan sangat jelas bahwa pemanfatan potensi alam Indonesia belum dikelola secara optimal. Siapa yang memiliki tanggungjawab dalam mengelola? Tentu saja saya, Anda dan kita semua. Bukan dia atau mereka (baca: Asing).
****
Jika melakukan kilas balik sejarah, bukankah negara ini sudah merdeka selama 69 tahun? Betul. Berbagai sistem kehidupan pun (seperti Sosialisme-Komunisme pada Orde Lama, dan Kapitalisme-Sekularisme pada ORBA dan reformasi) pernah diujicobakan. Pertanyaannya, semua sistem kehidupan yang notabene bersumber dari manusia, sudahkah terbukti mampu memberikan hasil yang menggembirakan bagi kehidupan masyarakat Indonesia?
Hingga kini, bangsa dan negara kita masih syarat dengan problematika yang seolah tak pernah usai. Segudang persoalan seperti pendidikan, kesehatan, keamanan dan pertahanan, politik pemerintahan, sosial budaya, ekonomi, hukum dan peradilan hingga hubungan luar negeri, dan lain sebagainya, ternyata masih saja membelit kita bak benang kusut. Krisis multidimensi yang terjadi kian hari kian bertambah pelik dan menyebabkan kita kesulitan untuk mencari jalan keluarnya. Satu persoalan belum kelar, persoalan lain siap menyambut. Dan seterusnya dan selanjutnya.
Akibatnya, cita-cita bangsa dan tujuan berdirinya NKRI pun hingga kini masih jauh dari harapan.
Nah, sebagai seorang sarjana yang termasuk dalam barisan kaum intelektual Indonesia, lantas apa yang mesti kita lakukan? Akankah kita menjadi bagian dari solusi atau justru menjelma menjadi bagian dari masalah? Pilihan kembali kepada kita masing-masing.
Peluang Nyata Sarjana Peternakan Indonesia
"Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; ‘Bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya." (HR.BUKHARI – 6015)
Dalam upaya memproduksi pangan sesuai yang dibutuhkan bagi masyarakat peran seorang ahli peternakan/pertanian tentu menjadi hal penting. Idealnya sih, siapapun yang menempuh pendidikan tinggi, setelah usai, ia mau beternak/bertani. Sedangkan mereka yang beternak/bertani juga diberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan, ketrampilan, dan pengetahuan/keilmuannya, terutama yang berkaitan dengan hal-hal teknis (kecerdasan skolastik). Tentu saja, jangan dikesampingkan dimilikinya kecerdasan komunikasi dan finansial pada diri para pelaku usaha dan bisnis peternakan ini. Nah, dimilikinya ketiga jenis kecerdasan inilah (yakni skolastik, komunikasi dan finansial), menurut pandangan Robert T.Kiyosaki, adalah menjadi syarat keberhasilan dalam menjalankan sebuah usaha/bisnis.
Jika dilakukan perhitungan kasar, sejak 1945-2014, jumlah ahli peternakan/pertanian di Indonesia jumlahnya sebesar 2.415.000 orang (asumsi: 69 tahun x 70 kampus peternakan/pertanian x 500 alumnus per tahun). Artinya, jika penduduk Indonesia diasumsikan mencapai 250 juta jiwa, maka 1 orang ahli peternakan/pertanian harus meng-cover sekitar 103 orang penduduk dalam hal produksi pangan.
Tugas ini berat atau ringan?
Mari kita hitung. Ambil contoh dalam penyediaan pangan hewani asal peternakan. Untuk hidup normal, setiap orang Indonesia idealnya mengkonsumsi protein hewani setara daging sapi sebanyak 450 gram setiap harinya. Jika ia harus meng-cover 103 orang, maka dalam sehari ia membutuhkan 46,35 kg daging. Berapa daging yang dibutuhkan dalam setahun? Berapa jumlah sapi yang mesti dipotong? Ternyata dalam setahunnya, seorang ahli peternakan/pertanian harus menyediakan sapi untuk dipotong (dengan asumsi: BB sapi 250 kg (% karkas 50%, % daging 75%) sebanyak 180 ekor.
Kesimpulan: tugas ini sangatlah berat. Solusinya, harusnya ditambah lagi jumlah ahli peternakan/pertanian yang ada di negeri ini #sayangnya tidak banyak generasi muda negeri ini yang mau mengambil jurusan peternakan/pertanian. Katanya kuran keren dan madesu (masa depan suram). Kondisi demikian tentu sangat mengkhawatirkan kita bersama#
Belum lagi kita bicara soal kualitas/mutu ‘sang ahli’.
Coba jawab dengan jujur, bagaimana mutu lulusan kampus peternakan/pertanian di Indonesia? Jika Anda berkecimpung dalam dunia kerja yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk rekruitmen SDM, Anda akan tahu jawabannya. Untuk itu berbagilah informasi kepada yang lain. Namun, jika Anda berprofesi/bekerja di luar itu, Anda mungkin masih bertanya-tanya, “Seperti apa ya mutu SDM peternakan/pertanian Indonesia?”
Pertanyaan ini layak diajukan, mengingat tanah yang subur makmur, SDA yang berlimbah, dan SDM yang besar, kok menjadikan negara ini importir pangan? Apanya yang salah? Mutu SDM tentu saja menjadi faktor penting untuk meraih apapun yang kita kehendaki.
Hasil penelaahan sementara dari beberapa tulisan dan buku yang membahas tentang bagaimana mutu SDM Indonesia, bisa diambil kesimpulan bahwa SDM Indonesia masih jauh dari kata “unggul.” Kok bisa? Tentu banyak faktor yang mempengaruhi sehingga hasilnya seperti itu.
Dwi Condro Triono, Ph.D2 menyatakan bahwa kegagalan sistem pendidikan di Indonesia lebih disebabkan karena pendidikan kita hanya mampu menghantarkan peserta didik sebatas pada pendidikan/keilmuan level 3.
Kenyataan ini sangat berbeda dengan pendidikan di negara-negara adidaya dunia, baik di Daulah (Negara) Khilafah Islam (dengan ideologi Islam-nya), Negara Pengusung Ideologi Kapitalisme-Sekularisme (AS, Prancis, Jerman, Jepang, Singapura, dll), dan Negara Pengusung Ideologi Sosialisme-Komunisme (Uni Sovyet-Rusia). Negara adidaya dunia selalu mendidik peserta didiknya hingga level 5, bahkan 6.
Secara ringkas penjelasannya sebagai berikut:
Pendidikan level 1. Menghantarkan peserta didik supaya mampu berpikir atau menggunakan akalnya pada objek langsung yang terindera. Penggunaan akal didasarkan pada 4 faktor: adanya fakta terindera, adanya indera, adanya otak dan adanya informasi sebelumnya tentang fakta yang sedang dihadapi. Hasilnya, peserta didik bisa membedakan apa itu sapi, domba, ayam, itik, jagung, dedak, dll.
Pendidikan level 2. Menghantarkan peserta didik untuk memahami fakta baik yang terindera secara langsung maupun yang ghaib dengan dengan menggunakan metodologi tertentu. Objek ghaib terdiri dari: kejadian masa lampau, sesuatu yang tidak terindera/tersembunyi, dan kejadian di masa mendatang. Hasil dari pendidikan level 2 adalah berupa pengetahuan yang disebut sebagai ilmu pengetahuan murni (basic science), seperti matematika, biologi, fisika, kimia, dll.
Pendidikan level 3. Menghantarkan peserta didik sehingga mampu menggunakan ilmu pengetahuan murni menjadi ilmu pengetahuan terapan. Contohnya adalah peternakan, perikanan, kedokteran, dll.
Hanya sampai level inilah pendidikan/keilmuan yang diajarkan di negeri ini. Ternyata kondisi demikian juga terjadi pada negeri-negeri Muslim lainnya. Akibatnya, lulusan perguruan tinggi (baik S1, S2, maupun S3) hanya mampu mencetak lulusan yang tidak mandiri, bingung dengan apa yang hendak dilakukan, lemah, dan bersifat memble. Alias jauh dari kata UNGGUL.
Lalu, apa yang mesti dilakukan? Tak ada jalan lain kecuali melanjutkan level pendidikan/keilmuan ke tahap selanjutnya yang lebih tinggi. Yakni keilmuan level 4, 5 bahkan 6.
Pendidikan level 4. Menghantarkan peserta didik sehingga mampu memahami hakikat di balik semua hal, baik yang terindera maupun yang ghaib. Sesuatu yang terindera terdiri dari 3 hal: manusia, alam semesta, dan kehidupan. Sedangkan sesuatu yang ghaib kita ketahui dan kita yakini berdasarkan sumber informasi yang dijamin kebenarannya oleh Allah swt, yakni al-Quran dan sunnah nabi saw (hadits). Dan keduanya juga bisa diindera manusia.
Singkatnya, keilmuan level 4 mengajarkan kepada peserta didik tentang aqidah. Aqidah merupakan pondasi (dasar) kebangkitan. Sedangkan aqidah itu sendiri menurut Muhammad Ismail3 diartikan sebagai pemikiran menyeluruh tentang makhluk (alam semesta, manusia, dan kehidupan) dan hubungan ketiga hal tersebut dengan sesuatu sebelumnya, dan sesuatu sesudahnya. Terlepas dari benar-salah-nya jawaban yang diberikan, masing-masing ideologi dunia (Islam, Kapitalisme, dan Sosialisme) dengan aqidahnya masing-masing (Islam, Sekularisme, dan Dialektika Materialisme) mampu menjawab pertanyaan mendasar manusia (darimana ‘makhluk’ itu berasal, untuk apa mereka diciptakan, dan hendak kemana setelah ajal menjemput) secara menyeluruh dengan jawaban yang memuaskan akal pikiran manusia.
Pendidikan level 5. Menghantarkan peserta didik pada pemahaman tentang mabda (ideologi). Menurut Muhammad Ismail, mabda diartikan sebagai aqidah rasional yang di atasnya di bangun pemikiran-pemikiran tentang kehidupan. Seorang mabda’i (ideologis) ia akan menguasai setidaknya 6 hal: a).sistem ekonomi, b).sistem pendidikan, c).sistem politik pemerintahan, d).sistem sosial, e). sistem sanksi dan peradilan dan f).politik luar negeri.
Sistem pendidikan di negara-negara adidaya dunia dengan mabda/ideologi bersumber dari akal kecerdasan manusia (Kapitalisme-Sekularisme dan Sosialisme/Komunisme-Dialektika Materialisme) hanya mampu menghantarkan pada level 5 saja. Meskipun begitu, sudah terbukti jika negara, bangsa, masyarakat dan individu yang mendapat dan mengadopsi pendidikan/keilmuan level 5 ini akan menjelma menjadi entitas yang akan mampu bangkit, meraih kemajuan dan memimpin dunia.
Lalu bagaimana dengan Negara Khilafah Islam yang mampu memimpin dunia selama 13 abad (abad 7-abad 20), sejak didirikan oleh Rasulullah saw hingga Kekhilafahan Turky Utsmany? Ternyata kebijakan Negara Khilafah Islam terkait dengan pendidikan, bukan berhenti pada level 5 saja. Namun, justru melanjutkan level pendidikan/keilmuan ini ke tingkatan yang lebih tinggi lagi. Apa itu?
Pendidikan level 6. Ilmu pengetahuan dan teknologi senantiasa berkembang. Dan berbagai sarana prasarana yang digunakan untuk memudahkan kehidupan manusia juga bertambah dan semakin rumit. Persoalan manusia senantiasa muncul dan menuntut jawaban baru. Untuk itulah Negara Khilafah Islam senantiasa mendorong warganya yang Muslim dan memenuhi syarat, untuk menjadi seorang mujtahid agar solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi pelbagai persoalan yang muncul di masyarakat bisa diketemukan. Tentu saja, solusi yang ditawarkan diharapkan senantiasa berjalan di atas methode kenabian (didasarkan pada al-Quran dan juga as-Sunnah).
Dengan penguasaan keilmuan level 4, 5 bahkan 6 inilah yang akan menghantarkan para ahli peternakan/pertanian atau sarjana lainnya di negeri ini mampu mandiri, memiliki pandangan jelas terhadap apa yang hendak dilakukan dalam hidup ini, dan juga mampu meraih kemerdekaan sejati.
ISPI, Dulu, Kini dan Masa Mendatang
Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI) lahir pada 20 Agustus 1968. Agustus mendatang berarti genap berusia 46 tahun. Saat ini organisasi profesi ini memiliki jumlah anggota yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Ketika berdiri, jumlah Insinyur Peternakan masih bisa dihitung dengan jari. Waktu itu mereka adalah lulusan dari Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP) yang jumlahnya hanya lima di Indonesia. Mereka yang mengambil minat peternakan memperoleh gelar Insinyur sedangkan mereka yang mengambil minat kedokteran hewan memperoleh gelar Dokter Hewan setelah mengambil co-as. Dalam perkembangannya, FKHP dikembangkan menjadi Fakultas Kedokteran Hewan yang difokuskan untuk mempelajari berbagai hal terkait dengan kesehatan hewan dan pengendaliannya; dan Fakultas Peternakan yang difokuskan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi mengelola ternak dengan segala manipulasinya sehingga dihasilkan ternak berkualitas unggul.
Saat ini, di Indonesia ada sekitar 70 Fakultas dan atau Jurusan Peternakan. Tentu saja, sarjana yang dihasilkannya juga semakin bertambah banyak. Lalu, apakah dengan jumlah sarjana peternakan yang makin membludak membuat ISPI juga ikut membesar? Ternyata tidak!
Bergabung tidaknya seseorang untuk membesarkan tubuh organisasi, ISPI misalnya, setidaknya disebabkan karena 4-Is yang menjadi alasannya: pertama, alasan agamis-ideologis. Kedua, alasan humanis. Ketiga, alasan teknis. Dan keempat, alasan ekonomis.
Pertama, alasan agamis-ideologis. Bagi seorang Muslim yang menjadikan al-Quran sebagai manual guidence dalam menjalani kehidupan ini tentu ia akan mendukung bahkan menjadi anggota sebuah organisasi. Namun, bukan sembarang organisasi. Melainkan sebuah organisasi yang memenuhi syarat sebagaimana di QS.Ali Imron: 104. Yaitu, menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Kedua, alasan humanis. ISPI di dalam cetak biru (blue print) yang menjadi peta jalan organisasi dan dalam aksinya apakah kemudian bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, tanpa memandang ras, agama, keturunan, latarbelakang keluarga, dsb? Apakah ISPI membela hak-hak peternak yang terdzalimi dan dirugikan? Apakah pembelaan terhadap kaum lemah menjadi ruh perjuangan atau hanya muncul secara sporadis dan bersifat tentatif?
Ketiga, alasan teknis. Apakah dengan bergabung dan menjadi anggota ISPI akan menjadikan kita menjadi sosok manusia yang lebih jujur, disiplin, tanggungjawab, bersih-rapi, bersemangat tinggi, membina kerjasama, menjadi teladan dalam kebaikan dan berpikir/bersikap maju?
Keempat, alasan ekonomis. Pernah dengar AMBAK? Adalah sebuah konsep yang dikembangkan di buku Quantum Learning-nya Bobbi De Porter. AMBAK singkatan dari Apa Manfaatnya Bagi Ku? Alasan ini lebih bernilai ekonomis. “Apa manfaat yang dapat diperoleh menjadi anggota ISPI?” Apakah ada Harta (Uang), Tahta (kekuasaan), Kata (ilmu), dan atau Cinta (popularitas) yang kita dapatkan dengan bergabung di ISPI?
Banyak pihak berpendapat, “Menjadi anggota ISPI atau tidak, seorang sarjana peternakan tetap bisa berprofesi sebagai peternak atau berprofesi di bidang lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan peternakan.”
Betul. Namun, jika ada ‘kendaraan’ yang bisa menghantarkan kita lebih cepat secara serempak dan bersama-sama kepada pencapaian tujuan, kenapa kita memilih bekerja sendiri-sendiri?
Pak Muladno, Lektor Kepala Fapet IPB dan Sekjen PB-ISPI yang pernah berkunjung ke Pulau Sapudi-Madura dan penulis yang menemaninya di lapangan, pernah berujar, “Bagi komunitas ISPI, yang lebih penting bukan pertanyaan yang bersifat individual seperti pernyataan di atas, namun lebih ke pertanyaan komunal seperti, “Apa manfaat adanya ISPI dan tidak adanya ISPI di Indonesia?”
Tentunya kita semua berharap agar ISPI memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara melalui berbagai kiprahnya dan pemikirannya untuk ikut memajukan dunia peternakan di Indonesia. Kiprah dan pemikiran yang bagaimana agar ISPI selalu memenuhi harapan tersebut? Inilah yang masih menjadi PR besar komunitas ISPI di berbagai daerah.
Menunjukkan eksistensi ISPI, bukanlah sekedar acara bubar (buka bareng) saat ramadlan tiba, sebagaimana yang selama ini penulis rasakan. Namun, ISPI harus mau dan mampu membicarakan, merumuskan dan merealisasikan sebuah konsep penting, “Apa yang secara riil dapat disumbangkan oleh organisasi ISPI kepada pemerintah dan masyarakat luas?” menjadi sebuah formula cerdas dan jitu. Tentu saja hal ini memerlukan banyak pemikiran cerdas dan kreatif.
Agar perjalanan ISPI ke depan lebih baik daripada sebelumnya, ada beberapa masukan yang barangkali bisa kita gunakan. Masukan atau saran tersebut berupa nasihat agar sebuah organisasi, termasuk ISPI, tidak menjadi organisasi yang gagal karena satu atau lebih hal di bawah ini:
1. Berasaskan pemikiran yang umum tanpa mempunyai batasan yang jelas. Misalnya keadilan (keadilan yang seperti apa?), kebaikan (kebaikan yang bagaimana?), kebebasan (kebebasan yang seperti apa?), atau semacamnya. Terlebih lagi jika organisasi tersebut berasaskan pemikiran kufur buatan manusia yang terbukti rusak dan membuat rusak seperti Sosialisme, Kapitalisme, Sekulerisme, Dialektika Materialisme, Liberalisme, dll.
2. Berjuang menggunakan metode yang salah, tidak konsisten, dan tidak mampu bersinergi dengan asasnya. Misalnya: berasas Islam namun berjuang melegalkan perzinahan, berasas Islam namun menghalalkan riba (bunga bank), dll.
3. Tidak mempunyai sistem kaderisasi anggota yang jelas. Akibatnya, hanya melahirkan kader yang hanya berbekal semangat saja, tanpa mempunyai kesamaan visi dan misi yang diinginkan pendiri organisasi, dan malah merusak organisasi dari dalam (internal). Faktor inilah yang juga menimbulkan fenomena kader-kader sebuah organisasi menjadi kutu loncat.
4. Tidak memiliki keterikatan yang benar antar anggota organisasi. Yang terjadi hanyalah ikatan yang berdasar atas nawa nafsu semata, kepentingan materi (bisnis), kepentingan manfaat, juga ikatan ketokohan belaka (karena kagum), sehingga ikatan-ikatan hawa nafsu tersebut tak mampu menjadikan anggota organisasi menjadi solid secara internal.
Maka sudah seharusnya bagi setiap anggota sebuah organisasi apapun yang merasa sedang bekerja untuk meraih tujuan organisasinya, kembali bercermin, apakah internal organisasi di mana kita bernaung di dalamnya sudah beres?
Sehingga komentar seperti, "Karena itu, wajarlah jika kelompok-kelompok tersebut bergerak hanya sebatas bekal kesungguhan dan semangat yang dimiliki sampai bekal itu habis. Kemudian aktivitasnya berhenti dan akhirnya lenyap. Setelah itu berdiri organisasi lain dengan orang-orang yang berlainan pula. Mereka pun bergerak seperti orang-orang sebelumnya, sampai akhirnya pada batas tertentu mereka kehabisan bekal semangat dan kesungguhan yang mereka miliki. Demikianlah hal ini terjadi berulang-ulang," tidak datang lagi kepada kita.
Peran Negara
Negara atau pemerintah memiliki andil yang cukup besar bagi kemajuan dunia peternakan dan juga kemajuan bangsa dan negara. Dialah pihak yang memiliki sumberdaya berlebih jika dibanding dengan individu atau organisasi (masyarakat) ketika melakukan aksi-aksi di lapangan.
Berikut beberapa hal yang bisa ditempuh pemerintah untuk menuju peternakan Indonesia lebih baik:
Pertama, mewajibkan kepada setiap pemerintahan desa di seluruh Indonesia untuk mengirimkan peserta didik untuk menempuh pendidikan tinggi jurusan peternakan/pertanian. Peserta didik ini akan dikondisikan untuk menjadi ahli peternakan/pertanian yang handal dan tangguh (alias unggul). Dana pendidikannya bisa digratiskan dan ditanggung pemerintah. Kemudian peserta didik dipersyaratkan mematuhi ikatan dinas dan harus kembali ke desa/keluarahannya. Dengan kebijakan ini setiap tahun minimal ada 76.994 orang yang akan dicetak menjadi ahli peternakan/pertanian. Anggap saja ini sebuah investasi jangka panjang. Masak untuk investasi strategis seperti ini, negara merasa rugi?
Kedua, memberikan reward yang menggiurkan kepada siapapun yang tercatat sebagai warganegara Indonesia untuk berlomba-lomba menciptakan sebuah inovasi dan kreasi terkait dengan bibit ternak unggul, pakan bermutu dan tatalaksana pemeliharaan yang hebat. Nah, jika konsep inovatif dan kreatif-nya dibukukan, reward-nya bisa berupa emas 24 karat seberat buku yang ditulis. Siapa orang yang ngga ngiler coba mendapat bongkahan emas 10 kg, misalnya?
Ketiga, negara bisa membuat kebijakan menjadikan tanah ‘bengkok’ atau ulayat milik negara yang selama ini menjadi ‘kue manis’ kepala desa/lurah/klebun atau ketua kampung yang memerintah sebuah wilayah desa, untuk kemudian disisihkan (misalnya seluas 1 hektar) sebagai lahan milik umum. Lahan ini bisa digunakan untuk mengadakan kontes ternak atau kampanye dan pameran teknologi peternakan untuk merangsang minat masyarakat sehingga mau menerjuni usaha dan bisnis peternakan. Logika sederhananya, jika setiap desa swasembada pangan, maka secara keseluruhan di dalam negara ini juga akan berswasembada. Atau jika ada halangan suatu daerah untuk memproduksi panga bagi wilayahnya, negara bisa mengambil kebijakan dengan membuat sebuah mekanisme sehingga pemerataan pangan bisa terwujud.
Keempat, pemerintah atau negara sebaiknya mengkaji ulang terkait dengan poitik luar negeri. Negara-negara mana yang bisa diambil menjadi teman dan mana yang harus diposisikan sebagai musuh. Jangan semuanya kemudian ‘dikarbit’ sehingga kita menjadi teman bagi mereka. Sebab, kenyataannya ada beberapa negara yang memang sedari awal berdirinya negara ini mengambil sikap memusuhi Indonesia. Negara musuh ini tidak rela jika Indonesia menjadi negara maju, negara makmur dan negara sejahtera. Akibat dari ‘ketidakjelasan’ inilah negara kita dalam perjalanannya kemudian justru menjadi negara yang lemah dan mudah sekali diserang pihak musuh. Serangan sebuah negara bukan hanya fisik (militer), namun bisa juga menggunakan senjata kimia dan biologi, kan? Boleh jadi pandangan mantan Ibu MenKes Siti Fadilah Supari yang mengatakan bahwa flu burung yang memporakpondakan perunggasan Indonesia merupakan bagian dari agenda global Kapitalis, itu benar.
******
Nah, siapapun Anda, Anda punya kemampuan untuk mempersembahkan karya bagi negara, jika ada kemauan dari diri Anda. Yuk saling beraksi buat kebaikan negeri.
Salam sukses-mulia.
========
*Abdurrahman Araushany adalah nama pena dari Abdul Rohman SPt. Pejabat Fungsional Pengawas Bibit Ternak Ahli di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur.
(artikel ini pernah dibuat di website DISNAK JATIM pada 11 Juni 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar