KARAPAN SAPI,
ANTARA BUDAYA,
HIBURAN DAN TUNTUNAN SESEPUH
DI PULAU MADURA
Oleh
Abdurrahman Arraushany*
Anda pernah nonton film India? Dalam
film India ceritanya hampir selalu melibatkan peran polisi dan kepolisian. Apa
yang Anda tangkap dari plot cerita berkaitan dengan para polisi ini? Jika Anda
mendapatkan kesan bahwa polisi selalu “bangun kesiangan” - mereka baru hadir setelah
aksi kejahatan ditumpas oleh pahlawan yang diperankan aktor utama - maka Anda benar.
Memang hampir selalu begitu jalan ceritanya. Bagaimana dengan saya? Kesan apa
yang saya tangkap? Kesan saya adalah bahwa polisi yang bertugas di lapangan cenderung
berbadan ceking dan kurus. Sedangkan inspektur polisi dan pucuk pimpinan di
instansi mereka cenderung gemuk dan dewasa (gede
wadah sanguna, besar tempat nasinya alias perutnya).
Pemeran polisi ‘kelas bawah’ yang biasanya
bertugas mengejar orang-orang jahat sepertinya memang sengaja dipilih yang berbadan
ceking dan kurus. Apakah ini menggambarkan bahwa ‘langsingnya’ tubuh polisi berbanding lurus
dengan kecepatan mereka dalam berlari mengejar penjahat? Entahlah. Adakah hal
yang sama juga terjadi pada sapi kerap yang digunakan dalam pacuan sapi (Sapi
Karapan) yang merupakan budaya masyarakat di Pulau Sapudi dan Pulau Madura?
Pulau sapudi kiblat bagi budaya karapan sapi
Sudah sering saya mendengar bahwa Pulau
Sapudi merupakan gudang sapi. Bagaimana tidak, pulau yang berlokasi di sebelah
Tenggara dari Pulau Madura ini yang luasnya ‘hanya’ 128,48 km2 ternyata
mampu menampung lebih dari 49 ribu ekor sapi. Padahal penduduknya cuma sekitar
45 ribu jiwa saja. Oleh karena itu, tak heran jika kemudian pulau ini dikatakan
sebagai “PULAU SAPI” dan menempatkan Sapudi sebagai wilayah dengan kepadatan
sapi tertinggi kedua di dunia. Namun
baru di akhir 2012 saya berkesempatan untuk menginjakkan kaki di pulau ‘tertua’
di wilayah Madura ini. Saat itu saya
melakukan monitoring dan evaluasi (monev) Kegiatan Penguatan Pembibitan Sapi di
Pulau Sapudi yang dananya bersumber dari APBN Satker Dinas Peternakan Provinsi
Jawa Timur.
Pulau yang terdiri dari 2 kecamatan (Gayam
dan Nonggunong) dan 18 desa ini ternyata juga kaya dengan SDGH lainnya. Selain Sapi
Madura tipe kerap, ada juga Domba Ekor Gemuk (DEG) Sapudi, Kambing Kacang,
Kambing Costa, Ayam Bekisar, Ayam Kekok dan beberapa jenis burung langka.
Pulau Sapudi merupakan daerah asal dan
menjadi kiblat dari budaya karapan sapi di Madura. Adalah masyarakat Pulau Sapudi
yang pertama kalinya memiliki kebiasaan untuk mengadakan lomba pacuan sapi di
lahan-lahan pertanian mereka. Bagaimana mereka bisa terinspirasi mencipta lomba
pacuan sapi? Tak lain adalah kebiasaan masyarakat Sapudi yang mengolah lahan
pertanian mereka dengan menggunakan alat bajak dari kayu dan atau bambu yang
disebut ‘kaleles’ dan menggunakan sapi sebagai tenaga penariknya. Kemudian
mereka mengadakan ‘tasyakuran’ sebagai wujud syukur dengan menggelar ‘lomba
pacuan sapi’ setelah panen raya.
Kerapan atau karapan sapi adalah satu
istilah dalam bahasa Madura yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan
pacuan sapi. Ada dua versi mengenai asal usul nama kerapan. Versi pertama
mengatakan bahwa istilah “kerapan” berasal dari kata “kerap” atau “kirap” yang
artinya “berangkat dan dilepas secara bersama-sama atau berbondong-bondong”.
Sedangkan, versi yang lain menyebutkan bahwa kata “kerapan” berasal dari bahasa
Arab “kirabah” yang berarti “persahabatan”. Namun lepas dari kedua versi itu,
dalam pengertiannya yang umum saat ini, kerapan adalah suatu atraksi lomba pacuan
bagi ternak sapi.
Ada beberapa cerita yang berkembang di
masyarakat Pulau Sapudi berkaitan dengan penggagas karapan sapi. Pertama, yang mengajarkan adalah ahli
pertanian di masa Raja Aria Wiraraja pada abad 12-13 M. Kedua, yang mengajarkan adalah Pangeran Adipoday (disebut juga Ario
Baribin alias Adi Sepuh Dewe) yang memerintah Tahun 1399-1415 M (abad 14-15 M).
Ketiga, yang mengajarkan adalah Kyai
Ahmad Baidawi (atau Pangeran Katandur) Tahun 1561 M (abad 16 M). Keempat, budaya karapan sapi ini muncul
di Tahun 1750-1762 (abad 18) saat masa pemerintahan R.Ayu Tirtonegoro dan
Bindata Saod. Dari empat cerita tersebut mana yang benar? Allahu ‘alam.
Akhmad Rofii Damyati, MA dalam artikel
berjudul “Melacak Sejarah Awal Islam Di Madura” menyebutkan bahwa, “Proses Islamisasi Madura boleh dibilang
suatu proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa. Proyek dakwah ini
sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek Islamisasi Nusantara yang sangat
massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para
juru dakwah yang di Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura juga menjadi bagian
agenda mega proyek ini.”
Dalam artikel tersebut, Damyati
menyebutkan ada 2 jalur penyebaran Islam di Madura, yaitu jalur kerajaan dan
jalur para da’i atau jalur para Sunan. Pada penyebaran Islam jalur da’i
disebutkan bahwa penyebaran Islam di Pulau Madura versi “Timur” bermula dari
Pulau Sapudi Kab.Sumenep. Sedangkan penyebaran Islam di Pulau Madura versi
“Barat” bermula di Kecamatan Arosbaya Kab.Bangkalan.
Artikel yang ditulis Damyati tersebut
menjadi suatu bukti tambahan bahwa apa yang pernah diulas dalam Buku “Aceh,
Nusantara dan Khilafah Islamiyah,” Adalah sebuah kebenaran sejarah,
bukan dongeng.
Di ujung Barat dunia, sejak abad 7
hingga 18 M, di bawah Naungan Khilafah, Islam dan Umat Islam sedang menikmati kejayaan
dan ketinggian peradaban dan kebudayaan. sedangkan Eropa kala itu masih
tenggelam dalam lumpur kebodohan dan keterbelakangan. Dan di ujung Timur dunia
yakni Nusantara sedang dikirim dai-dai untuk mengislamkan Nusantara. Maka ilmu
pengetahuan dan teknologi pertanian (dan peternakan) di Negara Khilafah jelas
dibawa ikut serta dalam pelaksanaan misi agung ini. Adalah Sunan Giri Gresik,
salah satu WALISONGO yang seorang ahli pertanian menjadi dai yang menyebarkan
Islam di Jawa Timur. Lewat murid-muridnya, maka Islam juga dibawa sampai ke
Madura sehingga bisa sukses mengislamkan penduduk Madura hampir 100%. Para da’i ini selain mengajarkan tauhid dan
syariah Islam totalitas, mereka juga mengajarkan tentang pangan yang dihasilkan
dari budidaya pertanian dan peternakan. Hal ini wajar karena di dalam Al-Quran
dan hadits persoalan pangan halal dan thayyib ini juga sangat banyak dibahas.
Seperti, QS.Al-Baqarah [2]: 168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Allah swt juga berfirman, QS.Al-Maidah
[5]: 088. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Rasulullah saw bersabda, “Tiap tubuh yang
tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya.” (HR. Ath-Thabrani)
Islam mengajarkan bahwa alam semesta, manusia dan kehidupan adalah makhluk. Sedangkan Allah azza wa jalla adalah sang Pencipta dan Pengatur makhluk. Pemahaman ini merubah total masyarakat Sapudi yang sebelumnya menyembah makhluk menjadi penyembah Allah swt, Pencipta dan Pengatur makhluk.
Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
pertanian dan peternakan yang diajarkan oleh Sang Da’i, hasil panen berlipat
ganda. Maka petani dan peternak diperintahkan untuk membayar zakat pertanian
dan peternakan. Dan mereka juga mengadakan tasyakuran dengan atraksi balapan
sapi alias pacuan sapi.
Budaya bertani dan beternak terutama memelihara
sapi ini diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi di
masyarakat Sapudi. Hampir semua rumah di Pulau Sapudi memelihara sapi, kecuali
di rumah-rumah gedongan di pusat kota Gayam dan Nonggunong. Yang tinggal di
rumah gedongan di pusat kota memang tidak memelihara sapi di rumah tempat
tinggal mereka. Tapi mereka tetap memiliki sapi bahkan sampai berjumlah 80 ekor
seperti yang dilakukan Haji Dede, seorang China Keturunan yang nenek moyangnya
sudah mendiami Pulau Sapudi sebelum Belanda menginjakkan kaki di pulau
tersebut.
Hingga saat ini Pulau Sapudi masih disebut
sebagai Pulau Sapi dan satu-satunya daerah yang menyediakan bakalan sapi kerap.
BAGAIMANA
MENCETAK SAPI KARAPAN YANG CEPAT, KUAT DAN SEHAT?
Ternak sapi adalah hewan yang lamban. Ia
dicipta bukan seperti kuda atau unta yang mampu berlari kencang dan tahan
terhadap cekaman panas berjam-jam dalam suatu perjalanan. Namun, lewat latihan
dan pengulangan, hewan yang lamban ini bisa berubah jadi hewan yang cepat dalam
berlari.
Latihan dan pengulangan adalah ibu dan
bapak dari keahlian. Sapi karapan ‘ahli’ dalam lari dengan kecepatan tinggi
karena terlahir dari proses panjang latihan dan pengulangan. Hal ini persis
yang dikatakan Ustadz Felix Siauw dalam buku “How To Master Your Habits.”
Budaya Karapan Sapi di Pulau Sapudi
telah menyatu dengan kehidupan masyarakat di sana, sejak ratusan tahun lalu
hingga sekarang. Setiap minggu pacuan sapi diadakan secara bergiliran dari desa
ke desa. Pelaksanaannya dilakukan di lapangan khusus yang tersedia untuk
pacuan. Umumnya 1 lapangan tersedia untuk tiap 3 desa. Lapangan ini digunakan
untuk uji coba atau latihan (tren)
calon-calon sapi kerap. Di lokasi ini pula biasanya terjadi transaksi jual
beli.
Tren menjadi ajang untuk menyambung tali
persaudaraan, mendapatkan kesenangan dan meluaskan perkenalan dengan para
penggemar sapi karapan. Dan kita tahu bahwa silaturahmi dapat melancarkan
rejeki, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw, “Barangsiapa
yang suka diluaskan rizkinya dan ditangguhkan kematiannya, hendaklah ia
menyambung silaturahim” [Shahiih Al-Bukhari No.2067].
Harga Sapi Kerap emang aduhai jika
dibanding dengan Sapi Madura ‘biasa’. Sebagai gambaran saja pada Tahun 2011
silam harga pedet Sapi Kerap berkisar antara 5-15 juta per ekor. Sementera
pedet Sapi Madura ‘biasa’ non Kerap hanya dihargai 500 ribu-2 juta rupiah. Pada
2014 saat kami melakukan pengukuran Sapi Madura di Pulau sapudi dalam rangka Penerbitan
Surat keternagan Layak Bibit (SKLB) di mana kami melakukan pengukuran di 18
desa di sana dan berhasil mengukur 2211 ekor sapi, kami juga melewati peternak
yang memiliki sepasang sapi kerap. Masih pedet, umur sekitar 6 atau 7 bulanan.
Saat kami tanya, “Seekornya dihargai berapa, Pak?”, maka peternak tersebut menjawab,
“Ini sudah laku pak. Sebulan lalu ditawar 60 juta.” Wuih,..mantab...
Apa yang menyebabkan Sapi Karapan
harganya mahal? Tingginya nilai jual Sapi Kerap disebabkan oleh beberapa hal,
di antaranya:
1.
Mereka tidak sembarangan dalam mengawinkan
ternaknya. Perlu menunda perkawinan jika estrus
sapi terjadi pada tanggal genap. Mereka meyakini bahwa sapi jantan ‘hanya’
akan dihasilkan jika sapi dikawinkan pas tanggal ganjil. Yang kedua, mereka
juga meyakini bahwa estrus pertama pada ternak akan berpeluang menghasilkan
anak betina. Oleh karenanya mereka kemudian menunda mengawinkan sapinya hingga
estrus kedua.
2.
Perlakukan terhadap sapi kerap sangat
istimewa. Jamu diberikan rutin setiap hari agar badannya menjadi singset. Juga
dilakukan pemijatan 30 menit setiap hari. Mandipun 2 kali sehari
3.
Sapi kerap tidak dijadikan pejantan.
Kenapa? Dipercaya sapi kerap itu infertil.
Yang mungkin disebabkan terlalu banyak mengkonsumsi jamu.
4.
Sapi kerap Sapudi memiliki nilai magis
dan keramat
5.
Perlu membayar ‘dukun’ atau “orang
pinter” agar dapat mantra-mantra khusus supaya sapi kerapnya menang dalam suatu
pertandingan
Hampir semua orang di Pulau Sapudi
bermimpi memiliki Sapi Karapan. Terlebih para peternak. Sapi yang digunakan
dalam Karapan Sapi pasti berkelamin jantan.
Oleh karena itu, mereka akan sangat senang jika mendengar kabar bahwa
ternaknya melahirkan pedet jantan. Karena mereka berharap pedet jantan tersebut
bisa dicetak menjadi Sapi Karapan. Jika kemudian ternyata yang lahir adalah
pedet betina, mereka agak kurang suka. Sikap ini mirip dengan sikap orang-orang
kafir jahiliyah saat mendengar kabar kelahiran anak perempuan mereka dari
istri-istri mereka. Allah berfirman, QS.An-Nahl [16]: 058. Dan apabila seseorang dari mereka diberi
kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan
dia sangat marah.
Pedet jantan akan dilatih menjadi sapi
kerap. Jika tidak lolos seleksi, maka ia akan segera dikeluarkan (dijual). Itu
sebabnya di Pulau Sapudi hampir 96% sapi dewasa adalah sapi betina.
TUNTUNAN
SESEPUH DI PULAU MADURA
“Coooollllllll...klontang...klontang....klontang.....klontang.
Sapi melesat berlari dengan kecepatan tinggi. Jarak 100 meter hanya ditempuh
dalam waktu 8 detik. Jarak 200 meter hanya ditempuh dalam waktu 18 detik.
Sebuah tontonan yang menarik dan menegangkan.” Inilah gambaran dari pelaksanaan karapan sapi. Setiap
minggu sepanjang bulan Agustus hingga Oktober setiap tahunnya diadakan
perhelatan karapan sapi. Atraksi ini dilakukan mulai dari tingkat kawedanan,
lanjut ke level kabupaten dan akhirnya se-Madura. Di luar jadwal ini bisa
dipastikan karapan sapi yang diselenggarakan berupa karapan undangan dan
karapan khusus wisatawan.
Menurut jenisnya karapan sapi dibagi
menjadi 2, yakni Karapan Sapi Wisata (KSS) dan Karapan Sapi Tradisional (KST). Karapan
sapi wisata diadakan secara insidental sesuai dengan permintaan wisatawan.
Sedangkan KST dibagi menjadi empat yaitu: (1).Karapan Kecil yang diadakan
dengan peserta se-kecamatan. Jarak lintasan 110 meter. (2).Karapan Besar
diadakan di ibukota kabupaten. Jarak lintasan 120 meter. Pesertanya berasal
dari pemenang Karapan Kecil. (3). Karapan Undangan (Onjhengan). Biasanya diadakan untuk memperingati hari-hari besar keagamaan
atau yang lainnya. Misalnya 17 agustusan. Peserta karapan ini hanya yang
menerima undangan saja dari panitia penyelenggara. (4).Karapan Sapi Piala Presiden
atau Karapan Sapi Gubeng. Peserta terbuka untuk semua pemilik sapi kerapan yang
telah lolos seleksi di tingkat kawedanan dan tingkat kabupaten. Sifatnya formal
dan diselenggarakan oleh Pemerintah (diwakili oleh Bakorwil IV Pamekasan –
Jatim).
Di dalam pelaksanaan karapan sapi, ada
beberapa peralatan yang digunakan. Peralatan tersebut terdiri dari: kaleles, pangonong, pangangguy dan rarengghan (pakaian dan perhiasan),
rekeng/rokong dan pakopak. Rekeng adalah alat pemukul sepanjang 15 cm yang
dipenuhi paku. Alat tersebut dipakai sebagai cambuk untuk memaksa sapi supaya berlari
lebih cepat. Sedangkan pakopak adalah alat yang memiliki fungsi sama dengan
rekeng, yakni memberi kejutan, namun terbuat dari karet dan bambu.
Penggunaan rekeng dan atau pakopak pada
atraksi Karapan Sapi jelas merupakan penyiksaan dan kedzaliman terhadap sapi.
Bagaimana pandangan Islam yang menjadi agama lebih dari 98% penduduk Madura? Islam
jelas memerintahkan untuk berbuat baik kepada makhluk Allah. Manusia
dianugerahi hewan ternak untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bisa
menjalankan misi manusia di bumi dengan sukses. Allah berfirman,
QS.Al-Mukminuun [23]: 021. Dan
sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang
penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam
perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang
banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan.
QS.Al-Mukmin [40]: 080. Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain
pada binatang ternak itu untuk kamu dan supaya kamu mencapai suatu keperluan
yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. Dan kamu dapat diangkut dengan
mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera.
Oleh karena itu, sudah semestinya
manusia memiliki ‘akhlaq’ terhadap hewan ternak ini.
Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak belas kasih niscaya
tidak dibelaskasihi” [HR Al-Bukhari ; 5997, Muslim : 2318]. Beliau juga
bersabda, Kasihanilah
siapa yang ada di bumi ini, niscaya kalian dikasihani oleh yang ada di langit” [HR At-Tirmdzi : 1924]
Di kesempatan lain beliau juga bersabda, “Allah mengutuk
orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran” [HR Al-Bukhari : 5515, Muslim : 1958] [Redaksi ini
riwayat Ahmad: 6223]. Juga ada hadits yang melarang penyiksaan terhadap
hewan/ternak, “Seorang
perempuan masuk neraka karena seekor kucing yang ia kurung hingga mati, maka dari
itu ia masuk neraka karena kucing tersebut, disebabkan ia tidak memberinya
makan dan tidak pula memberinya minum di saat ia mengurungnya, dan tidak pula
ia membiarkannya memakan serangga di bumi” [HR
Al-Bukhari : 3482].
Kita bisa mendapatkan pahala dan dosa dari sikap kita
terhadap makhluk lain ciptaan Allah. Sebagaimana disabdakan Nabi, “Pada setiap yang
mempunyai hati yang basah (hewan) itu terdapat pahala (dalam berbuat baik
kepadaNya)” [HR Al-Bukhari : 2363]
Ulama dan tokoh yang mengajarkan dan membudayakan karapan sapi di Pulau Sapudi di masa lalu adalah seorang yang paham betul bagaimana berakhlaq kepada hewan ternak. Jadi awalnya karapan sapi ini dilakukan sebagai hiburan dalam perayaan panen. Lalu seiring dengan masuknya penjajah Belanda ke Pulau Sapudi sekitar akhir abad 18 dan awal abad 19 maka hiburan tersebut menjadi ajang penyiksaan sapi. Mereka tertawa dan merasa terhibur dengan ‘pacuan sapi’ ini meskipun si joki yang Muslim melakukan tindakan penyiksaan terhadap sapi yang dikerap dengan menggunakan rekeng. Dan penggunaan rekeng tersebut terus bertahan hingga Tahun 2014. Sejak 2014 hingga sekarang penggunaan rekeng telah dilarang. Sebagai gantinya dalam pelaksanaan Karapan Sapi digunakanlah pakopak. Pemberian kejutan dengan menggunakan pakopak berarti masih ada pemukulan pada sapi. Artinya penyiksaan terhadap sapi ini masih berlangsung dalam atraksi karapan sapi.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan alasan mempertahankan dan mengembangkan seni dan budaya kita dibolehkan untuk menyiksa sapi? Inilah yang banyak ditentang oleh kyai dan ulama di Madura terhadap atraksi pacuan sapi ini. Salah satu kyai yang sangat keberatan dengan penyiksaan hewan ini adalah KH.Abdul Aziz Syahid, Pengasuh PP Sumber Batu Desa Pegantenan Kec.Pegantenan Kab.Pamekasan. “Hiburan silahkan saja diadakan. Namun jangan sampai ada unsur kedzaliman dan penyiksaan terhadap makhluk Allah. Saya sangat tidak setuju dengan budaya karapan sapi yang disertai penyiksaan terhadap sapi yang dikerap. Itu sangat dilarang dalam Islam!!! Apalagi atraksi tersebut diadakan tidak jauh dari pondok pesantren saya ini. Siapa pejabat pemerintahan yang harus saya temui?” kata beliau saat saya berkunjung ke Ponpes pada medio 2013 silam.
Karapan sapi juga sangat kental dengan unsur
perjudian. Padahal Islam mengharamkan perjudian. Allah berfirman, QS.Al-Maidah
[5]: 090. Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.
Selain ada unsur penyiksaan terhadap
sapi dan perjudian, budaya karapan sapi ternyata juga berpotensi untuk
melalaikan masyarakat dari tujuan utama mereka dikirim ke planet bumi. Allah
berfirman, QS.Al-Munaafiquun [63]: 009. Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat
demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Oleh karena itu, permainan ini harus dikembalikan lagi
kepada ruh awalnya sebagaimana yang dikehendaki para sesepuh Karapan Sapi di
Madura. Jika tidak, maka lebih baik budaya ini tidak usah lagi diadakan di
masyarakat. Kenapa? Dalam kaidah syara disebutkan, “Segala sesuatu yang
menghantarkan kepada keharaman, maka sesuatu itu hukumnya menjadi haram.” Semoga
kita semua terhindar dari amaliyah yang sia-sia dan tidak bernilai ibadah
sedikitpun. Karena itu akan menjadi penyesalan dan menjelma menjadi kerugian bagi
kita di akhirat sana.
===========
*Abdurrahman
Arraushany adalah nama pena dari Abdul Rohman, SPt (Pengawas Bibit Ternak Ahli
Pertama di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan
Provinsi Jawa Timur).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar