Senin, 02 Juni 2014

11 Juni 2009

CERPEN : Hari Terakhir Seorang Mahasiswa Peternakan


Sambil duduk di bangku taman di bawah pohon Ki Sabun yang rindang, Bahtar muda memandang ke seantero taman kampus yang luas dan penuh mahasiswa itu. Berpuluh atau bahkan beratus umbul-umbul berkibaran seperti ikan berenangan dihembus angin. Tiang-tiangnya menancap kuat-kuat; memenuhi taman yang rindang oleh pepohonan besar dan bebungaan yang ditata rapi, yang memberikan kesejukan di musim kemarau dan menimbulkan kesan hangat di musim hujan.

Ia menghela nafas dalam. Kini ia harus siap menerima kenyataan itu. Kenyataan bahwa tidak lama lagi ia akan meninggalkan bangunan-bangunan tua tempat ia selama ini menimba ilmu. Sepertinya, ia belum siap betul menatap masa depan yang kelak menanti kiprah kesarjanaannya.

Dengan gerakan siput, dibolak-baliknya majalah Al-Wa’ie No. 98 Tahun IX, 1-31 Oktober 2008, yang sedari tadi ada di genggaman tangannya. Matanya tertuju pada artikel berjudul Konflik Ideologi Belum Berakhir yang ditulis oleh Fathiy Syamsuddin Ramadlan An-Nawiy. Baris demi baris dibaca dengan kecepatan 400 kata per menit. Di sub bab Kapitalisme Bukanlah Akhir Sejarah Manusia, ia kaget. Kesadarannya tersentak. Di halaman 28 itu, yang membahas tentang kegagalan ideologi Kapitalisme dunia, matanya tertuju pada Laporan Pembangunan Manusia (HRD) Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia menemukan catatan bahwa pada tahun 1999, diperkirakan ada 840 juta orang di dunia menderita kekurangan gizi; satu di antara empat anak di dunia kekurangan gizi; dan satu dari delapan orang di planet ini adalah pengangguran.

Ia membenahi posisi duduknya. Rasa penasarannya makin membuncah memenuhi setiap pembuluh darah yang ada di dalam tubuhnya. Ia meneruskan kembali bacaannya.

Antara/Asian Pulse pada bulan April 2001 menulis, sekitar 64.000 orang Indonesia memiliki simpanan sebesar 257 miliar dolar AS di luar negeri; dua orang terkaya di Indonesia masuk daftar 538 orang terkaya di dunia; sementara 19,5 persen dari 210 juta penduduk Indonesia menganggur.

Biaya pemeliharaan militer di seluruh dunia mencapai 809 miliar dolar AS pada tahun 1999; sementara negara-negara di Dunia Ketiga hanya membutuhkan 12 persen dari seluruh dana itu untuk menyediakan pelayananan kesehatan, mengatasi kekurangan gizi, dan menyediakan air bersih untuk seluruh rakyatnya.

Hatinya berdegup kencang. Karena penasaran, ia kembali meneruskan bacaannya.
La Botz, dalam Made In Indonesia, mencatat bahwa pengeluaran militer Indonesia pada tahun 1999 mencapai 50,3 miliar dolar AS, sedangkan dana pendidikan hanya 1,1 miliar dolar AS. Dalam waktu sepuluh tahun utang luar negeri dari seluruh negara berkembang di dunia membengkak 100 persen; dari 1,2 triliun dolar AS menjadi 2,5 triliun dolar AS. Banyak negara di dunia menghabiskan pendapatan negara untuk membayar bunga utang. Pemerintah Brasil, misalnya, menghabiskan 75,6 persen, sementara Indonesia, bunga utangnya menguras 66,8 persen total pendapatan Negara dalam RAPBN versi IMF tahun 1998/1999.

Rendahnya angka pendapatan Negara Dunia Ketiga tidak hanya meningkatkan angka kemiskinan, tetapi juga menurunkan kualitas hidup mereka. Pasalnya, mereka tidak bisa dengan leluasa mengakses layanan publik akibat tidak adanya daya beli. Apalagi, hampir kebanyakan layanan publik semacam pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lain sebagainya telah diswastanisasi. Keadaan ini semakin mempersulit mereka untuk memperoleh layanan publik yang memadai. Hanya mereka yang memiliki pendapatan tinggi yang mampu menikmati layanan publik. Sebaliknya rakyat miskin seakan-akan tidak memiliki hak untuk hidup enak dan menikmati fasilitas-fasilitas publik itu.

Ia menutup majalah. Matanya terpejam. Pikirannya menerawang dan menari-nari di lintasan akson dan dendrite di sel-sel otaknya. Bukankah selama ini kondisi yang dialaminya seperti itu? Ia datang dari sebuah perkampungan di pelosok Jawa Timur. ‘Beasiswa’ dari orang tua hanya cukup untuk mengganjal perutnya supaya ia bisa tetap tegak berdiri. Bagaimana dengan kebutuhan-kebutuhan kuliahnya? Haihata, haihata (jauh, jauh sekali). Untuk meng-copy handout saja dari para dosen ia tak mampu. Apalagi untuk membeli buku. Apalagi untuk membayar uang kesehatan yang setinggi langit. Apalagi untuk membayar uang transport yang makin hari makin mendaki bukit. Makanya, ia harus pandai-pandai mengelola keuangan. Ia harus pandai-pandai bergaul dengan banyak orang, demi mendapatkan pinjaman materi perkuliahan untuk disalin. Ia pun harus bisa mengatur waktu untuk berolah raga supaya pikiran dan tubuhnya tetap sehat. Dilarang keras untuk sakit. Tak ada hak sakit buat orang miskin seperti dia. Pokoke, ia harus mau dan mampu tirakat untuk menimba ilmu. Hidup bersusah payah demi meraih ilmu yang kelak akan mengangkat derajatnya.

"Hhh...mampukah aku?", batinnya..
Ia bangkit dari tempat duduknya. Dengan langkah setengah berlari disusurinya koridor kampus menuju perpustakaan fakultas. Dilewatinya begitu saja para mahasiswa yunior yang sedang tertawa cekikikan. Berbeda sekali dengannya.

Orang bilang sejarah seringkali berulang. Hal ini pula yang dilakukan banyak mahasiswa senior saat mereka masih berstatus sebagai mahasiswa yunior tingkat pertama dan kedua. Barangkali saja mereka juga memegang teguh prinsip, “Kumaha engke?” dan bukan “Engke Kumaha?” seperti orang kebanyakan. Sehingga yang dilakukan adalah membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Bercanda dan ngobrol ngalor ngidul untuk membunuh waktu senggangnya. Hah,…mahasiswa, mahasiswa. Katanya saja kalian itu bagian dari warga negara intelek, kok aktivitasnya jauh dari kegiatan intelektual ya, seperti membaca dan menulis?
***

Perpustakaan kampusnya kini sudah banyak mengalami perubahan. Kini kondisinya sudah jauh berbeda dibanding empat tahun lalu saat ia masuk. Koleksi bukunya juga bertambah banyak. Kalau dikalkulasi sepertinya penambahan buku yang ada sudah tidak lagi mengikuti deret hitung tapi mengikuti deret ukur.

Perpustakaan belum banyak pengunjung. Sepi. Hening.
Jemarinya menyusuri deretan buku di rak. Tanpa sengaja pandangannya tertuju pada buku bersampul coklat berjudul “Berani Gagal” karya Billi P.S. Lim yang dulu pernah dibacanya saat berkunjung ke kostan temannya. Dibolak-baliknya buku itu. Sampai juga ia di halaman 17: “Jika tidak ada orang yang menawarkan pekerjaan, ciptakan lapangan pekerjaan sendiri! Mengapa bekerja bagi orang lain? Mengapa tidak bekerja untuk diri sendiri? Apakah kita ke universitas agar lulus sebagai mahasiswa kemudian mondar-mandir mencari pekerjaan? Jika begitu, siapa yang akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi para non-mahasiswa yang tidak bernasib baik?”

Plakk!!! Walau tak berbekas, hatinya tertampar kata-kata penulis Malaysia yang mengarang buku itu. Ia lemas. Ia lunglai. Ia tak berdaya. Ia tak kuat menerima kata-kata yang menyentakkan kesadarannya itu.

“Apakah aku siap menghadapi hari esok?”
Besok adalah hari terakhirnya menjadi seorang mahasiswa. Ia besok akan mengikuti prosesi wisuda. Dengan itu berarti statusnya berubah. Secara de fakto maupun de jure ia besok telah resmi sebagai seorang sarjana peternakan. Di kartu tanda penduduk (KTP) yang baru, tidak lagi tertera kata ‘mahasiswa’ sebagai informasi ‘pekerjaannya’ tapi mungkin saja berganti dengan ‘wiraswasta’ untuk menutupi status terselubungnya sebagai pengangguran terdidik.

Apa yang sudah ia siapkan untuk terjun ke masyarakat?
Ia teringat dengan apa yang ditulis Robert T. Kiyosaki dalam Rich Dad Poor Dad. Katanya, untuk menjadi orang yang sukses dan bahagia, siapapun dia, harus menguasai dan memiliki paling tidak tiga jenis kecerdasan: kecerdasan skolastik, kecerdasan komunikasi, dan kecerdasan finansial.

Apakah dunia pendidikan di negeri ini yang selama ini dijalaninya telah membekalinya dengan ketiga jenis kecerdasan di atas?

Kecerdasan skolastik merupakan kecerdasan seseorang terkait dengan bidang yang ia pelajari. Jika bidang peternakan yang menjadi kajian keilmuan yang selama ini digeluti, itu berarti ia harus faham seluk beluk peternakan dan hal-hal yang terkait dengan dunia itu. Paham akan berbagai masalah yang ada di dunia peternakan dan tahu solusi yang tepat dan benar untuk menyelesaikannya. Setahuku, Bahtar sudah beberapa kali mengikuti kegiatan magang di usaha peternakan ayam. Di tingkat pertama, ia pernah magang di Rural Rearing Multipication Centre (RRMC) Malangbong Garut, salah satu kelompok peternak ayam kampung yang ada di Jawa Barat. Di tingkat dua, ia pernah magang di peternakan ayam pedaging komersil di Kecamatan Caringin Bogor. Apakah itu menjamin kemampuan Bahtar tentang pemahamannya tentang industri peternakan? Tergantung. Apakah ia melakukannya dengan antusiasme atau tidak.

Kedua, kecerdasan komunikasi. Komunikasi merupakan alat seseorang untuk berhubungan dengan orang lain. Ia bisa membawa keberuntungan yang besar jika dilakukan dengan baik dan juga membawa malapetaka yang luar biasa ngerinya jika disalahgunakan atau jika terjadi kegagalan komunikasi (miscommunication). AS mengebom Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945 lalu, misalnya, disinyalir kuat salah satu sebabnya adalah karena kegagalan komunikasi. Ketika AS memerintahkan ‘sesuatu’ kepada Jepang yang waktu itu sudah lemah, Jepang menjawab: Kami taat perintah Tuan, tanpa komentar. Jepang mengakui kekalahannya dan ‘menerima’ kenyataan yang ada. Tetapi, kata-kata itu diterjemahkan ke bahasa Inggris: No Comment, yang berarti ‘tak ada komentar’ yang bernada menantang.

Kecerdasan komunikasi dapat dikembangkan dengan pembelajaran, latihan dan kegiatan kepemimpinan. Antara kepemimpinan dan komunikasi seperti dua sisi mata uang. Tanpa salah satu dari keduanya, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai uang, bukan. Pembelajaran kepemimpinan di kampus, dengan apalagi kalau bukan dengan berorganisasi intra dan atau ekstra kampus.

Ketiga, kecerdasan finansial. Kecerdasan yang satu ini tidak hanya dimiliki oleh para akuntan dan bankir. Sebab, faktanya, banyak di antara mereka yang juga tidak memiliki kecerdasan ini dan mengalami ‘krisis finansial’ yang seringkali membuat mereka stress. Kecerdasan ini erat kaitannya dengan ‘manajemen keuangan.’ Orang yang memiliki kecerdasan ini bisa membedakan antara asset dan liabilitas. Orang yang memiliki kecerdasan ini, akan mengatur pengeluarannya sehingga tidak terjadi, ‘lebih besar pasak daripada tiang.’ Ia mengetahui hukum uang dan mengetahui bagaimana cara uang itu bisa bekerja buat dirinya. Ia menjadi tuan bagi uang, bukan sebaliknya.

Lamunannya terhenti saat jam perpustakaan berdentang dua belas kali. Pertanda ia harus segera pulang dan menelpon keluarganya di kampung. Mereka hendak menghadiri acara wisudanya besok. Tak tanggung-tanggung, yang datang bukan hanya satu dua orang tapi semobil penuh. Hal yang lumrah terjadi pada acara wisuda atau perayaan lainnya. Keluarga yang datang memang seringkali meramaikan dan menyemarakkan suasana.
***
Malam semakin larut. Pukul dua dini hari ia terjaga. Keluarga yang dinanti belum juga tiba. Hati Bahtar kian lama kian gundah gulana. “Apapun yang terjadi besok, aku akan berwajah ceria,” gumamnya.

Ia sempat membayangkan berdiri di antara dua ribuan wisudawan/wisudawati dari berbagai jurusan di universitasnya. Ia telah ber-azzam akan berdiri kokoh menantang dunia untuk membuktikan bahwa dirinya dan dunia peternakan yang dipilih untuk digelutinya adalah bernilai bagi kehidupan umat manusia. Ia akan membuktikan bahwa keberadaan dirinya dan dunianya adalah semata untuk kesejahteraan umat manusia. Ia akan buktikan itu.

Ia bangkit, mengambil air wudlu dan melakukan sholat malam. Simaklah doanya.

“Ya Allah ya Tuhan kami. Tuhan Yang Memiliki kekuatan. Ijinkan aku berdiri tegar di hadapan ribuan makhluk-Mu. Aku hendak membaktikan sisa hidupku untuk kepentingan umat manusia. Aku sangat bersyukur karena Engkau telah menambahkan ilmu-Mu kepadaku. Aku sangat bahagia karena Engkau memberkati aku dengan berbagai macam kecerdasan dan kelebihan. Puji syukur kupanjatkan kepada-Mu, yang telah memilihkan jalan ini. Aku ikhlas. Aku rela dengan pemberianmu. Sesedikit atau sebanyak apapun itu. Rabb, melalui Rasulmu Engkau pernah bersabda: “Sebaik-baik orang di antara kamu adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” Aku sangat yakin bahwa Engkau adalah benar. Janjimu adalah benar. Rasulmu adalah benar. Al-Qur’anmu adalah benar. Dan akhiratmu adalah benar. Maka, ampunilah aku.”

“Rabb, dengan menggeluti dunia peternakan yang menjadi bagian hidupku dan bangga dengan statusnya, aku akan menggapai empat nilai perbuatan manusia. Dengan beternak dan menjadi peternak aku akan bekerja dan menghasilkan banyak uang. Secara materi aku tidak akan lagi kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan dan keinginanku semasa hidup di dunia ini. Bukankah dunia peternakan dari hulu, budidaya, sampai ke hilir menawarkan nilai materi yang menggiurkan?”

“Rabb, dengan beternak dan menjadi peternak, aku akan menolong manusia untuk bisa mendapatkan penghidupan. Dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang menyerap para pengangguran yang jumlahnya kian hari kian bertambah akibat tindak kezaliman para penguasa negeri kami. Mereka yang kami pilih sebagai wakil kami, untuk mengurus urusan kami, kenyataannya mereka tak pernah memperhatikan nasib dan urusan kami. Rabb, dengan beternak dan menjadi peternak aku juga akan menolong manusia dari kebodohan dan dari berbagai macam penyakit yang bisa membinasakan kehidupan umat manusia. Aku tidak tahu apa yang bakal terjadi jika Engkau tidak mengasihi umat manusia dengan memberikan makanan yang halal lagi baik berupa susu, daging dan telur yang bernilai gizi tinggi itu dengan perantaraan kami.”

“Ya Tuhan kami, dengan beternak dan menjadi peternak, aku akan belajar berdisiplin. Berdisiplin waktu, pikiran dan tenaga. Bukankah Engkau mewajibkan dan mensunahkan shalat kepada kami supaya kami belajar berdisiplin? Aku juga akan berbuat dan berkata jujur. Bukankah ayam-ayam kami yang kelak akan kami pelihara adalah contoh nyata bagaimana kami harus berbuat jujur? Ayam akan berproduksi sesuai dengan makanan yang kami berikan. Jika sedikit pakan yang kami berikan maka akan sedikit pula daging dan atau telur yang akan ia hasilkan. Dan begitu pula sebaliknya. Rabb, dengan beternak dan menjadi peternak kami juga akan menjadi manusia yang bertanggung jawab. Kami akan belajar dan berbuat selalu dalam keadaan bersih dan rapi. Kami juga akan menjadi manusia yang penuh semangat dan antusiasme. Kami juga akan menjalin kerjasama dengan orang lain dengan cara yang terbaik. Kami akan menjadi teladan dan meneladani bagi dan dari orang lain. Dan tak lupa, kami juga akan berpikir dan berbuat maju demi kemajuan diri sendiri dan masyarakat kami.”

“Rabb, dengan beternak dan menjadi peternak aku berharap akan mendapatkan keridloan-Mu. Kebahagiaan apalagi di kehidupan ini yang bisa melebihi keridloan-Mu. Untuk itu, aku akan melakukan hal-hal yang akan mendatangkan keridloan-Mu kepadaku. Dan, aku akan menjauhi hal-hal yang akan mendatangkan murka-Mu. Sesungguhnya hukum benda-benda dari-Mu sudahlah jelas: halal dan haram. Dan, hukum perbuatan kami dari-Mu juga sudah jelas: wajib, sunah, jaiz (boleh), makruh, dan haram. Tolong kami ya Rabb untuk kami tetap berjalan di jalanmu yang lurus. Sadarkan kami jika kami menyimpang dari jalan-Mu.”

“Rabb, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
Pukul 03.55 wib. Tok. Tok. Tok. Pintu kamarnya diketuk tiga kali. Ia bangkit. Kini, semangat dan kepercayaan dirinya begitu besar.

“Selamat datang di kota Bandung.” Ujarnya sambil menyerahkan undangan khusus dan istimewa kepada bapak tercintanya.

Ditulis oleh : Abdul Rohman, SPt. Alumni Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran-Bandung. Kini bekerja sebagai staff Breeding Farm PT Wonokoyo Jaya Corporindo. Tinggal di Singosari-Malang.
 (Saat ini saya sudah berubah status. Sudah keluar dari PT.WJC. Dan bergabung dengan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur sebagai Pengawas Bibit Ternak di UPT PT dan Keswan Madura sejak Maret 2010)