Kamis, 02 Maret 2017

INDONESIA BERPOTENSI MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA

INDONESIA BERPOTENSI MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA


 Oleh Abdurrahman Arraushany*

Indonesia berpotensi menjadi pusat pangan dunia. Keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang tinggi, lahan yang subur, sinar matahari yang melimpah, air yang senantiasa tersedia, sumber daya manusia yang besar, dan segenap ‘kekuatan’ Indonesia lainnya benar-benar menjadi kekuatan dahsyat jika kita MAU mewujudkannya. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi seluruh SDM di Indonesia untuk mensukseskan mega proyek ini demi kebaikan negeri dan keberlangsungan kehidupan penduduk bumi.

WAJIB SINERGIKAN 3 SEKTOR 
Di balik perbedaan yang dimiliki penduduk Indonesia dan dunia yang mendiami bumi ini, ada 2 persamaan yang dimiliki manusia, yaitu memiliki potensi kehidupan (berupa kebutuhan jasmani dan naluri) dan memiliki potensi istimewa (berupa akal). Kedua potensi ini menjadikan manusia sebagai makhluk unik yang berbeda dengan makhluk lainnya yang diciptakan Tuhan. Karena keunikan inilah Tuhan kemudian memilih manusia menjadi Khalifah (pemimpin, pengganti, pengelola)-Nya di bumi.
KEBUTUHAN JASMANI manusia muncul dari dalam diri manusia (bersifat internal) dan pemuasannya bersifat pasti. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka cepat atau lambat manusia akan mati. Contohnya adalah kebutuhan akan makanan/minuman, istirahat/tidur, bernapas, BAB/BAK, dll.
Berbeda dengan kebutuhan jasmani, tuntutan pemenuhan NALURI (mempertahankan diri, melestarikan spesies manusia di bumi dan beragama) bersifat eksternal. Naluri baru muncul jika ada rangsangan dari luar. Jika naluri ini sudah muncul pada diri manusia dan menuntut pemuasan, tetapi tidak juga dipenuhi, maka tidak akan sampai menyebabkan kematian. Yang ada hanyalah kegelisahan, kegundahan, dan kegalauan.


Oleh karena itu, manusia manapun, bagaimanapun kondisinya - mau dia kaya atau miskin, raja atau rakyat jelata, tampan atau pas-pasan, laki atau perempuan, lansia atau balita, dewasa atau remaja - semuanya membutuhkan MAKANAN untuk bisa menjalankan misi kehidupan mereka di bumi. Yakni beribadah (QS.Adz.dzariat: 56) dan menjadi khalifah.
Dari mana manusia mendapatkan makanan (dan minuman) untuk memenuhi kebutuhan jasmani mereka? Di masa lalu manusia mengandalkan makanan dari hasil berburu di hutan dan alam liar. Namun kini, dengan semakin bertambahnya populasi manusia yang mendiami bumi (kini diperkirakan lebih dari 8 Miliar perut yang harus diisi), maka manusia harus merubah pola kehidupan mereka. Manusia dituntut untuk bisa memproduksi pangan di dalam atau di sekitar lokasi rumah mereka sendiri. Jika tidak memungkinkan hal ini dilakukan maka mereka bisa mengganti jerih payah produsen pangan dengan membayar harga dari produk yang dihasilkan.
Untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin dan mineral yang berasal dari sayuran, jenis kacang, umbi, buah, dan tanaman obat kita bisa menanamnya di pekarangan kita. Sayuran (kangkung, bayam, sawi, seledri, kucai, asparagus, bawang prei, wortel, dll), kacang (k.panjang, buncis, koro, k.merah, kedelai, k.hijau, dll), umbi (kentang, wortel, ubi jalar, ubi kayu, bawang merah/putih, dll), buah (pisang, anggur, zaitun, kurma, mentimun, mangga, jambu, rambutan, salak, dll), empon-empon (kunyit, lengkuas, jahe, kencur, dll) dan tanaman obat lainnya, mudah ditanam kan? Selain lebih terjaga mutunya dan terhindar dari bahan kimia (pestisida, herbisida dan fungisida) yang membahayakan tubuh manusia, dengan memproduksi sendiri kita bisa menekan pengeluaran bulanan. Jika setiap hari kita mengeluarkan minimal Rp.10 ribu rupiah untuk pengeluaran kebutuhan dapur kita (sebagaimana tanaman di atas), maka dalam sebulan minimal Rp.300 ribu yang bisa kita hemat. Dan dalam setahun Rp.3,6 juta. Hmm....jumlah uang yang layak dipikirkan kembali bagi sebagian besar dari kita. Hehehe.
Bagaimana dengan pemenuhan protein hewani yang berasal dari daging (putih) dan telur? Di rumah kita bisa memanfaatkan limbah dapur dan rumah tangga untuk beternak unggas (ayam kampung, itik, entog, merpati, puyuh) dan pseudo-ruminansia (seperti kelinci dan marmut) serta memelihara ikan air tawar (lele, tawes, gurami, nila, mujaher, dll). Jika memungkinkan maka kita bisa memelihara ruminansia kecil (seperti domba dan kambing) dengan populasi terbatas untuk mendapatkan daging dan susu ternak.
Kalau ruminansia besar (seperti unta, sapi, dan kerbau) dan ruminansia kecil yang bisa digunakan untuk memproduksi daging (merah) dan susu maka idealnya tidak kita pelihara di dalam rumah atau di sekitar lokasi tempat tinggal penduduk. Di manakah lokasi ternak tersebut? Tak ada pilihan lain kecuali digembalakan di padang penggembalaan dan atau hutan.


Penggembalaan di padang penggembalaan dan atau hutan menjadi WAJIB bukan MUBAH alias PILIHAN jika memimpikan INDONESIA MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA. Sebab, dengan penggembalaan ternak maka usaha kita BETERNAK menjadi SANGAT EFISIEN dan EFEKTIF. Kita hanya perlu menggiring ternak dan menghalaunya agar tidak makan tanaman yang tidak semestinya di makan (misalnya di lahan pertanian penduduk atau tanaman beracun). Sebagai contoh, dengan model gembala, seorang peternak domba bisa meng-handle 200-300 ekor domba. Bandingkan dengan sistem intensif di mana ternak di kandangkan. Pelihara 10 ekor saja sudah galau.
Jika kita menggembala ternak, maka kita tak perlu menjadi babu atau pelayan bagi sang ‘raja’ yang notabene ternak kita sendiri. Makanan ‘raja’ pelayan yang nyiapin. Perawatan kesehatan tubuh ‘raja’ pelayan yang melakukannya. Sang ‘raja’ BAB pelayan yang sibuk membersihkan kotorannya. Kenapa malah kebalik-balik? Bukankah ternak adalah ‘rojokoyo’ bagi kita, bukan sebaliknya, menjadi ‘koyorojo’?
Di samping itu, jika kita menggembala ternak, secara otomatis kita juga melakukan distribusi pupuk organik yang dijamin bisa menyuburkan lahan pertanian dan perkebunanan/kehutanan tempat di mana ternak digembalakan tanpa efek samping. Bukankah ini bisa mengatasi kelangkaan pupuk anorganik yang seringkali menghilang dari pasaran ketika petani membutuhkan untuk pemupukan tanaman?
Dan yang lebih penting lagi, beternak dengan sistem gembala ini sejalan dengan Al-quran, kitab yang menjadi pegangan 85,2% penduduk negeri ini. Di antara ayatnya adalah: 
Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya itu) kamu menggembalakan ternakmu.” (QS 16:10).
Makanlah dan gembalakanlah binatang-binatangmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.”(QS 20:54).
Jadi, andai kita MAU MENSINERGIKAN 3 sektor yakni kehutanan/perkebunan, pertanian dan peternakan, maka pasti Indonesia bisa menjadi pusat pangan dunia. Dan tentu saja opini yang digembar-gemborkan selama ini tentang swasembada pangan pun bukan isapan jempol belaka.
YUK KITA MULAI DARI DESA KITA 
Perjalanan ribuan mil dimulai langkah pertama, begitu pepatah China yang sering dikutip banyak inspirator dan motivator negeri ini dan dunia. Oleh karena itu sudah saatnya kita menggerakkan kaki kita untuk melangkah. Mari kita bergerak - sekecil apapun gerakan kita - karena diam berarti mati. Tapi, dari mana kita memulai langkah MENJADIKAN INDONESIA MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA?


 
Rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim atas dorongan keimanan yang dimilikinya bisa diandalkan menjadi motor penggeraknya. Sebab, ada banyak ayat alquran dan hadits yang memerintahkan agar manusia - terlebih Muslim - agar mengkonsumsi makanan yang HALAL dan THOYYIB. Di samping itu, perintah yang bernilai WAJIB (misalnya berqurban dan membayar kafarat dengan menyembelih ternak) dan SUNNAH (seperti aqiqah, tasyakuran, walimahan, dll) berkaitan dengan ibadah seorang hamba bisa juga digunakan sebagai motivasi ruhiyah untuk mendorong umat Islam untuk SEGERA BETERNAK.
Ada juga kaidah syara’ yang berbunyi, “Jika suatu kewajiban tidak bisa terlaksana tanpa SESUATU, maka SESUATU itu menjadi wajib adanya.” Jadi bagaimana bisa kita berqurban dan beraqiqah jika ternak yang hendak dipotong tidak ada di masyarakat? Apakah kita rela mengandalkan ternak tersebut dipasok dari luar negeri? Apakah kita akan enjoy saja jika ternak yang kita perlukan ternyata dipasok dari negara yang memusuhi umat Islam dan negeri ini? Orang yang waras tentu saja tidak akan bersikap demikian.
Nah, tugas Anda adalah memastikan bahwa di desa Anda ada peternak yang berproduksi ternak, ada petani yang memproduksi tanaman pangan serta ada pekebun yang memproduksi buah-buahan yang dibutuhkan penduduk desa Anda. Jika belum ada, maka tugas Andalah untuk memasukinya dan menjadi peternak-petani-pekebun (NANIBU). Jika itu terjadi insyaallah Anda menjadi SUPERMAN sejati. Dan tentu saja banyak mendulang pahala, insyaallah. Hehehe.
Setelah Anda menjadi NANIBU, maka langkah selanjutnya adalah mengajak masyarakat untuk bersama-sama bergerak. Sebab bagaimanapun Anda tidak akan bisa bergerak sendirian. Dibutuhkan kerjasama orang-orang dengan visi dan misi yang sama untuk bergerak bersama. Setiap desa setidaknya perlu 3 pionir di masa awal gerakan, yakni 1 orang ahli di bidang peternakan, 1 orang ahli di bidang pertanian dan 1 orang ahli di bidang perkebunan/kehutanan.
Jika aksi Anda berhasil, maka dalam waktu yang singkat, akan ada yang menerima ajakan Anda. Semakin hari gerakan yang kita inisiasi akan semakin membesar dengan jumlah orang yang sevisi/misi di dalamnya juga semakin banyak. Nah, jika kekuataan gerakan masyarakat ini telah terbentuk dan semakin solid maka bukan mustahil kita bisa meminta - bahkan memaksa - pemerintah/penguasa negeri ini untuk memfungsikan perannya.
Apa peran negara/pemerintah? Jika petani/peternak/pekebun tidak memiliki atau kekurangan modal, negara hadir memberikan pinjaman tanpa bunga. Atau negara memberikan modal secara cuma-cuma.
Jika NANIBU membutuhkan ilmu dan teknologi terbaru untuk meningkatkan produksi maka negara bisa hadir menjadi pemain utama. Yakni dengan memberikan kemudahan bagi penduduk untuk bisa mengenyam pendidikan formal atau negara memperbanyak sarana penyebaran informasi lainnya.
Negara juga bisa mengoptimalkan lahan pertanian yang tidak produktif atau lahan bera milik penduduk yang tidak dikelola pemiliknya untuk diambil alih negara dan diberikan kepada mereka yang sanggup menggarapnya. Dengan kebijakan ini pemilik lahan yang baru mengusahakan usaha perkebunan dengan menanaminya dengan tanaman buah asli/lokal negeri ini untuk memproduksi buah-buahan. Ke depan kita berharap bisa berhenti mengimpor buah berformalin dan mengandung lilin yang sangat berbahaya bagi kesehatan.

Lahan nonproduktif bisa juga disulap dengan dijadikan padang penggembalaan yang dibutuhkan peternak. Peternak membutuhkan juga lahan umum untuk memajang ternak mereka di level desa, kecamatan, kabupaten maupun provinsi sebagaimana kegiatan kontes dan festival ternak. Dengan kegiatan ini, peternak bisa membandingkan ternak yang dipelihara sendiri dengan ternak milik peternak lain. Peternak bisa mengukur kinerja mereka, entah lebih baik atau lebih buruk kondisi dibanding kinerja peternak lainnya.
Begitulah impian saya Muslim Indonesia yang mengharapkan INDONESIA MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA.
Tapi masih ada yang mengganjal nich. mungkinkah INDONESIA akan mampu MENJADI PUSAT PANGAN DUNIA jika negara yang mayoritas Muslim ini menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem ekonomi liberal karena merujuk pada Ideologi Kapitalisme-Sekularisme, dan bukan SYARIAT ISLAM DALAM BINGKAI SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM (al Khilafah)? Ada yang mau menjawab?

(Notes: Artikel ini pernah dimuat di Website Persma Unsoed => http://husbandrynews.com/potensi-indonesia-menjadi-pusat-pangan-dunia/?i=1 pada 16/7/2016).
======== 
*Abdurrahman Arraushany merupakan nama pena dari Abdul Rohman, SPt, Fungsional Pengawas Bibit Ternak [Wasbitnak] Di UPT Pembibitan Ternak dan Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar