JALAN LAIN
MENUJU KEMANDIRIAN
BENIH DAN BIBIT TANAMAN
DAN TERNAK
DI INDONESIA
Oleh Abdurahman Arraushany*
Pangan
merupakan hak dan kewajiban asasi manusia. Dengan mengkonsumsi pangan maka
kebutuhan jasmani tubuh terpenuhi. Kaya dan miskin, tua dan muda, di perkotaan
dan di perdesaan semua orang membutuhkan pangan, entah mereka bisa membelinya
atau tidak.
Hari
ini banyak kasus yang terjadi di negeri ini atau di belahan dunia lainnya
terkait dengan pangan. Di satu sisi ada yang mengalami obesitas karena
kelebihan pangan. Mereka juga dengan enteng membuang makanan mereka, entah
dengan alasan kurang suka dengan makanan yang disajikan, rasa yang kurang enak di
lidah atau gagal dalam mengolah makanan. Sedangkan di sisi lain, ternyata banyak
juga yang menderita kurang gizi dan malnutrisi akibat kekurangan pangan dan
nutrisi, dampak dari kurangnya kesadaran dan pemahaman akan arti penting suatu pangan,
keterbatasan ekonomi dan rendahnya produksi pangan di negeri mereka.
Dulu
manusia bisa mencari pangan di alam (hutan, pematang sawah, sungai dan pinggir
jalan). Seiring bertambahnya jumlah manusia di bumi (saat ini diperkirakan
lebih dari 8 miliar jiwa) maka manusia dituntut untuk memproduksi secara
intensif dengan melakukan budidaya. Apa yang kita perlukan untuk memproduksi
pangan demi mencukupi kebutuhan penduduk di negeri ini? Untuk menerjuni usaha
dan bisnis pangan (perkebunan, pertanian dan peternakan) khususnya di sektor
budidaya (on farm) kita memerlukan 5
(plus 2) faktor yang kemudian dikenal dengan istilah panca dan atau sapta usaha
tani/ternak. Satu di antaranya yakni ketersediaan benih dan bibit unggul tanaman
dan ternak.
Kondisi Perbenihan dan Perbibitan
Tanaman dan Ternak di Indonesia
Sebelum
Tahun 2000-an, penduduk di kampung kami terbiasa menanam aneka tanaman pangan
di sawah dan ladang mereka (multiple croping)
dalam satu hamparan. Hampir tidak pernah dijumpai mereka mengusahakan satu
jenis tanaman (monokultur) saja di
lahan budidaya mereka. Tanpa disadari, teknik multiple cropping inilah di kemudian hari disosialisasikan oleh
Barat sebagai solusi untuk memutus rantai penyakit dan hama suatu tanaman.
Di
sawah dan ladang yang dikelola penduduk, mereka menanam tanaman pangan sumber
karbohidrat (seperti padi, jagung, sorghum, ubi jalar, ubi kayu, talas dan
ganyong). Di pematang lahan mereka menanam sayuran (jenis buah dan dedaunan
seperti kacang panjang, terong, bayam dan kangkung). Sedangkan di pagar
pembatas lahan antar warga - sekaligus berfungsi sebagai tanaman peneduh - mereka
menanam buah seperti pisang, pepaya, mangga, rambutan, kelapa, dll.
Mengapa
penduduk di kampung saya memilih menanam dan beternak sendiri secara mandiri? Mereka
sadar bahwa hanya dengan memproduksi pangan sendiri secara mandirilah mereka
bisa menghasilkan pangan yang dibutuhkan diri dan keluarga mereka dengan
jaminan ‘halalan thayyiban’. Jika ada
kelebihan produksi, mereka bisa menjualnya untuk mendapatkan harta kekayaan
yang menjadi perhiasan dunia. Atau memberinya secara gratis (berupa zakat,
infaq dan shodaqah) kepada orang lain sebagai amal sholih yang akan
mendatangkan pahala sebagai bekal untuk kembali ke kampung halaman di akhirat.
Allah
swt berfirman:
QS.Al-Baqarah
[2]: 261.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi
Maha Mengetahui.
Dari
manakah mereka mendapatkan benih dan bibit tanaman dan ternak untuk
dibudidayakan? Apakah mereka membelinya setiap kali musim tanam? Apakah mereka
membelinya setiap akan beternak? Ternyata tidak. Mereka mendapatkan benih dan
bibit tanaman mereka dari hasil produksi di lahan dan kandang mereka sendiri.
Kakek
saya, sebagai contoh, meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolahan, tapi ternyata
sudah terbiasa dengan proses seleksi untuk menghasilkan benih dan bibit unggul
tanaman pangan dan hewan ternak. Ilmu tersebut didapat secara turun temurun.
Saat
saya membantu memetik cabe, saya dilarang untuk memetik buah dari pohon yang
diberi tanda. Pohon cabe terlarang tersebut jika saya bandingkan dengan pohon
cabe lainnya memang buahnya lebih melimpah. Dari 1.000 pohon cabe, seingat saya
beliau menyisakan sekitar 50 pohon saja yang tidak dipanen bersama yang lain.
Beliau memanennya dan memisahkannya dengan cabe dari pohon lain. Saat saya
tanya, “Kenapa dibiarkan, Mbah?” maka
beliau menjawab, “Itu untuk dijadikan bibit, Le.”
Saat
panen padi dan sorghum juga begitu. Kakek saya dan orang-orang sepuh di kampung
kami memilih padi dan sorghum unggul (ditandai dengan buah yang penuh berisi dan
dengan biji berlimpah pada tangkainya) untuk disimpan. Teknologi penyimpanannya
pun sudah sangat maju. Mereka menyimpan padi dan sorghum dengan cara dibiarkan
ditangkainya. Kemudian menempatkan biji padi dan sorghum di dapur yang dalam
proses memasaknya menggunakan kayu bakar.
Hal
yang sama juga pada jagung. Buah jagung unggul (yang ditandai dengan biji utuh,
besar, dengan biji rapat dan berlimpah) dipilih. Kemudian klobot luarnya dibuka
(tapi tetap menempel pada buah jagung). Dengan kelobot penutup jagung itulah
buah jagung satu sama lain disatukan dalam satu ikatan. Tempat penyimpanannya bisa
di dapur atau di atas ruang tamu dengan menggunakan kayu yang ditempatkan
melintang.
Dengan
teknologi perbenihan tersebut, benih dan bibit tanaman pangan bisa disimpan
lama dengan kualitas yang tetap terjaga. Mereka tidak memipil jagung atau
merontokkan padi dan sorghum dari tangkainya.
Bagaimana
dengan bibit dan benih ternak? Kakek saya pernah membeli ayam kampung di pasar
kecamatan dengan menyertakan saya. Kala itu saya amati bahwa saat membeli ayam dari
para pengumpul kakek saya memilah-memilih ayam yang akan dibelinya. Apa kriterianya?
Ayam yang dipilih adalah ayam dengan bulu bersih dan mengkilat. Kakek juga
memerhatikan warna dan bentuk shank, garis
punggung, bentuk dan besar kepala, kondisi kloaka, dan juga jarak antar ostium pubis (tulang di kanan kiri
kloaka, yang dipilih ukurannya minimal 2 jari orang dewasa) dan jarak antar os.pubis dengan tulang dada (artinya
lebar perut, yang dipilih minimal 3 jari orang dewasa).
Rasa
penasaran saya membuncah. Lalu saya tanya, “Kenapa perlu memenuhi ayam dengan kriteria
itu, Mbah?” Beliau menjawab, “Jumlah telur
(Baca: Performa) dari ayam-ayam ini nantinya sangat dipengaruhi oleh kualitas
babon (baca: genetik) yang kita beli. Jika babonnya dipilih dengan kriteria tersebut,
insyaallah dengan lingkungan (baca:
environment) yang mendukung maka potensinya akan muncul. Telur yang
dihasilkannya akan banyak.”
Karena
ayam kampung yang dibeli masuk masa pre
layer (sekitar umur 16-24 minggu), maka biasanya dalam waktu 1-3 minggu pasca
pembelian ayam-ayam tersebut sudah mulai bertelur. Ayam-ayam yang produksi
telurnya tinggi (di atas rata-rata populasi) kemudian diputuskan untuk dipertahankan.
Hasil telurnya kemudian ditetaskan. Setelah menetas Day Old Chick (DOC) nya kemudian dipelihara sebagai calon induk
baru. Anak-anak ayam periode pertama yang sudah memasuki masa bertelur (layer) kemudian dilakukan seleksi
kembali berdasar jumlah telur yang dihasilkan. Dengan kriteria tetap. Proses seleksi
ayam berdasar produksi telur tersebut terus berlanjut.
Bagaimana
dengan ayam dengan produksi telur di bawah rata-rata populasi? Telur dari ayam
yang produksinya di bawah produksi rata-rata populasi diputuskan untuk dikonsumsi
sendiri atau dijual. Hasil penjualan telur dibelikan pakan tambahan (dedak,
tepung ikan, jagung dan konsentrat murni).
Dengan
teknik ini alhamdulillah ayam kampung
di rumah kami pernah mencapai jumlah ratusan ekor. Sayangnya ayam-ayam tersebut
seringkali mati mendadak terutama di musim pancaroba. Di kemudian hari, saat
saya belajar di Jurusan Produksi Ternak di Fakultas Peternakan di salah satu
kampus negeri di Jawa Barat, jenis penyakit yang biasa menyerang unggas tersebut
kami ketahui, yakni penyakit ND/NCD alias tetelo.
Bagaimana
dengan domba dan kambing? Keluarga kami di Tuban dulu juga pelihara belasan
ekor domba dan kambing. Di malam hari kami menempatkan hewan ternak kami di dalam
rumah (menyatu dengan dapur, bahkan tempat tidur). Ini memang kebiasaan
masyarakat di kampung kami yang menyatukan ternak bersama pemiliknya. Meski
kurang layak jika dipandang dari sisi medis baik ke ternak maupun pemiliknya
setidaknya keamanan ternak dari pencurian sangat terjamin. Pun dengan makna
‘rojokoyo’ dan ‘koyorojo’ benar-benar mengejawantah.
Dari
mana bibit domba dan kambing diperoleh? Bibit domba dan kambing yang kami
pelihara awalnya dibeli dari pasar hewan terdekat dengan memerhatikan tampilan
luar ternak. Setelah dipelihara beberapa bulan maka domba-kambing kamipun beranak
pinak. Proses seleksi mulai berjalan. Seleksi pada domba-kambing dilakukan
berdasar litter size (jumlah anak
sekelahiran) dari tiap induk yang melahirkan. Biasanya yang beranak tunggal
induk dan cempenya dijual, jika sudah layak jual. Sedangkan induk beserta cempe
yang dilahirkan kembar dua maka akan dipertahankan oleh pemiliknya. Sayangnya,
induk domba dan kambing yang beranak kembar lebih dari dua (misalnya 3, 4, 5
dan 6 ekor) justru malah kurang disukai peternak. Alasannya, produksi susu
induk sangat kurang sehingga tidak mencukupi kebutuhan cempe yang dilahirkannya
sehingga seringkali kondisi cempenya merana dan akhirnya mati. Selain itu
beranak kembar lebih dari 3 ekor justru dianggap sangat merepotkan pemiliknya
karena diperlukan tenaga dan perhatian ekstra baik ke induk maupun cempe yang
dilahirkannya.
Pertanyaannya
adalah: Darimana kakek, ortu dan orang-orang sepuh di kampung kami mengetahui teknologi
perbenihan dan perbibitan tanaman buah, tanaman pangan dan peternakan tersebut?
Siapa yang mengajari mereka? Bukankah mereka tidak pernah kuliah? Bagaimana mungkin
action mereka bisa sejalan dan sesuai
dengan ilmu dan teknologi perbibitan yang diajarkan di perguruan tinggi formal?
Perlu
diketahui bahwa desa kami terletak di perbatasan jawa Timur dan Jawa Tengah,
yang masuk ke kawasan desa hutan jati. Satu-satunya tempat menimba ilmu adalah
di Surau atau Langgar yang diempu oleh kyai kampung. Sehingga aktor yang
barangkali bisa dijadikan kunci jawaban adalah bahwa orang-orang di kampung
kami mendapatkan ilmu agama dan ilmu dunia (pertanian secara umum, perdagangan
dan perindustrian) berasal dari kyai kampung tersebut.
Mari
kita uji. Benarkah kyai dan ulama mengajarkan agama Islam juga mengajarkan teknologi
ilmu pertanian (perkebunan, pertanian dan peternakan) dan perdagangan?
Jika
kita baca sejarah maka teka teki tersebut akan terbuka. Syaikh Maulana Malik
Ibrahim (atau dikenal dengan sebutan Sunan Gresik) adalah ulama “wali songo’ Islam
sekaligus ahli pertanian yang dikirim Khalifah dari Negara Khilafah Islam yang
berpusat di Turki untuk mendakwahkan Islam di Nusantara.
Tugas
dai adalah berdakwah (menyeru kepada Islam, menyuruh kepada kemakrufan dan
mencegah kemungkaran). Bagaimana cara dan sarananya? Tentu disesuaikan dengan
kondisi setempat. Salah satu cara dan sarana yang dipilih Sunan Gresik saat itu
salah satunya adalah dengan mengajarkan teknologi pertanian di masyarakat
Gresik khususnya dan Jawa Timur umumnya. Juga hampir di seluruh nusantara.
Kenapa
bisa begitu? Dari catatan sejarah terbukti bahwa pertanian di Negara Khilafah
sudah sangat maju, yang ini jelas berbeda sekali dengan pertanian di Nusantara.
Teknologi pertanian di Negara Khilafah Islam (seperti ditemukannya kincir
angin, teknologi pengairan, teknologi pengolahan tanah, teknologi penyimpanan
pangan yang tahan puluhan dan ratusan tahun dll) masih bertahan dan kita
saksikan hingga hari ini. Di bidang tanaman pangan dan peternakan sudah
dihasilkan produk unggul seperti gandum, kurma, anggur, kapas, tebu, Tulip, jeruk
Seville (Andalusia), Tulip, Domba Merino dan banyak lagi lainnya.
Domba Merino, Karya Ilmuwan Muslim yang masih bertahan hingga hari ini
Walisongo
dalam dakwahnya menyampaikan kewajiban bagi manusia agar memakan makanan halal
dan thayyib (aman, sehat dan utuh) agar
manusia bisa beribadah dan tampil optimal menjadi khalifah (pemimpin,
pengganti, pengelola, pengurus dan pemakmur) di bumi. Ayat dalam al-Qur’an yang
memerintahkan ini seperti firman Allah swt berikut:
QS.Al-Baqarah
[2]: 168. Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Dan
juga Firman Allah swt:
QS.Al-Maidah
[5]: 088. Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Di
samping itu, ada juga perintah agar manusia (terutama bagi orang-orang
Mukmin-Muslim) agar melaksanakan ibadah baik wajib maupun sunnah muakkadah yang dalam pelaksanaannya membutuhkan buah-buahan,
tanaman pangan dan hewan ternak (baik hidup maupun sudah disembelih).
Guru-guru
kami pernah menyampaikan kaidah syara, “Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan dengan
keberadaan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya.” Dengan menggunakan kaidah ini maka keberadaan buah-buahan,
tanaman pangan, dan ternak untuk membayar
zakat pertanian-peternakan, pelaksanaan penyembelihan qurban (butuh ternak
hidup seperti domba, kambing, unta, dan sapi), pelaksanaan aqiqah (butuh domba
dan kambing), walimahan (ada perintah melaksanakan walimah meski hanya dengan menyembelih
seekor domba atau kambing), tasyakuran (membutuhkan telur dan daging ayam
kampung, daging domba-kambing, daging sapi, dll), membayar dam (saat melakukan
pelanggaran dalam pelaksanaan ibadah haji) dan semacamnya, menjadi wajib adanya.
Kedatangan
Walisongo dan orang-orang Mukmin dari generasi sebelumnya ke Nusantara adalah
untuk menyinari negeri ini dengan cahaya Islam. Dan tenyata dakwah ulama utusan
Khalifah dari Negara Khilafah diterima dengan suka rela. Oleh sebab itu, dalam terminologi
Islam tanah Nusantara adalah tanah usyriyah
hingga hari Kiamat. Di mana status tanah ini berbeda dengan tanah kharajiyah.
Darimana
Walisongo mendapatkan inspirasi sehingga mengajarkan teknologi pertanian ke
penduduk negeri ini? Inspirasi tersebut berasal dari pedoman hidup orang-orang
yang mengimani Allah swt dan Hari Kemudian: al-Quran dan hadits.
Ayat
mana dari al-Quran yang mengajarkan teknologi penyimpanan benih? Silahkan renungi
firman Allah swt berikut:
QS.Yusuf
[12]: 046.
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): "Yusuf, hai orang
yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan
tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku
kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya." 047. Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya)
sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya
kecuali sedikit untuk kamu makan.
Bulir padi yang tetap dibiarkan ditangkainya
Apa
yang terjadi pada negeri ini setelah tahun 2000-an? Apa yang kami alami mungkin
juga Anda rasakan. Semenjak Ideologi Sosialisme-Komunisme yang diusung Uni
Sovyet hancur di Tahun 1990-an, maka Ideologi Kapitalisme-Sekularisme lah satu-satunya
ideologi yang diemban oleh negara-negara di dunia. Semenjak Negara Khilafah Islam
dengan Ideologi Islamnya diruntuhkan Tahun 1924 M sampai hari ini Kaum
Muslimin-Mukminin belum berhasil mengembalikan Negara Ideal miliknya. Pun dengan
Negara yang menerapkan Ideologi Sosialisme-Komunisme.
Barat
dengan Ideologi Kapitalisme yang berasas Sekularisme (paham yang memisahkan
agama dengan kehidupan) secara massif mengekspor sistem ekonomi liberal dan
sistem pemerintahan demokrasi ke penjuru dunia. Dan menjadi sasaran empuk
adalah negeri-negeri Muslim yang notabene sangat kaya dengan sumberdaya alam
dengan jumlah penduduk yang luar biasa besar. Dengan SDA melimpah berharga
murah bahkan gratis dan pangsa pasar yang besar dan gemuk tentu sangat
menggiurkan jika negeri tersebut bisa dikuasai. Ekonomi liberal dan
pemerintahan demokrasi merupakan dua sisi mata uang yang diekpor negara Adidaya
Amerika Serikat ke negeri-negeri Muslim. Bahkan William Blum dalam bukunya
berjudul Demokrasi, Ekspor Amerika Paling Mematikan, sangat jelas
menggambarkan hal ini.
Dengan
ekonomi liberal, hambatan masuk produk pangan dari luar negeri ke suatu negeri dihapus.
Dengan penguasa yang menerapkan pemerintahan demokrasi maka langkah itu menjadi
semakin mulus. Apa akibatnya? Penguasa di suatu negeri lebih memilih melakukan
importasi pangan dengan beragam alasan dibanding meningkatkan produksi pangan
di dalam negeri sendiri.
Apa
dampak lanjutan dari impor pangan? Jelas harga pangan dan produk olahannya
hasil produksi di dalam negeri kalah bersaing dengan produk impor. Sebab di
dalam negeri pemerintah ‘dipaksa’ menghilangkan berbagai macam subsidi (bibit,
pupuk, BBM, dll) sehingga cost
produksi menjadi mahal. Di AS sekalipun hingga hari ini pemerintahnya masih
memberikan subsidi dalam jumlah besar ke petani mereka. Wajar jika kemudian
produk pangan mereka harganya bisa murah.
Jika
pangan dan produk olahannya kalah bersaing dengan produk impor di pasar dalam
negeri, apa yang kemudian terjadi? Yup, pekebun-petani-peternak jadi enggan
berproduksi. Pukulan mematikan bagi peternak unggas Tahun 2002-2004 dan
peternak sapi Tahun 2011 adalah contohnya.
Apa
yang terjadi hari ini? Gejala terjadinya krisis pekebun-petani-peternak muda di
negeri ini bukan isapan jempol belaka. Di media massa kita sangat mudah
mendapat buktinya. Hanya di media massa? Jelas tidak. Hari ini di
kampung-kampung sudah sulit dijumpai generasi muda yang mau menjadi pengusaha
dan atau pekerja di bidang pertanian (baca: perkebunan, pertanian dan
peternakan). Mereka lebih memilih menjadi kuli pabrik (menjadi employee) atau membuka usaha sendiri (menjadi
self employee) di perantauan. Meski penghasilan
tak seberapa yang penting mereka tidak bergumul dengan keringat, lumpur dan tletong.
Mengapa
kondisi menyedihkan ini terjadi di negeri berpenduduk mayoritas Muslim? Sebabnya
di antaranya:
1.
Banyak
generasi muda Islam yang tidak paham dengan Islam. Mereka hanya memahami Islam
sebatas ibadah mahdloh, ibadah ritual
saja. Seolah Islam tidak sempurna, dan tidak boleh sempurna. Seakan Islam tidak
memerhatikan pangan. Hingga akhirnya muncul generasi sekular, generasi yang
memisahkan agama dengan kehidupan (termasuk di bidang pertanian). Ucapan khas
mereka, “Kalau mau berkebun, bertani dan beternak jangan bawa-bawa agama, Mas!”
2.
Sedangkan
generasi tuanya, yang kebanyakan memiliki pengalaman pahit di bidang pertanian,
juga tak kalah menyurutkan generasi muda untuk menerjuni pertanian. Generasi tua
sering memberi nasihat ‘bijak’ yang menyesatkan dengan mengucap, “Nak, kamu
boleh jadi apapaun yang kamu impikan. Mau jadi dokter, polisi, pegawai negeri
sipil, programer, pilot, pedagang, pengusaha, anggota DPR, menteri, bahkan
presiden atau yang lainnya silahkan saja. Tapi....jangan pernah punya impian
jadi petani (pekebun, petani, peternak). Jangan pernah bermimpi menjadi petani kayak
bapak dan ibumu. Jadi petani itu soro.”
Apa
yang akan terjadi ke depan jika kita tidak mau lagi menerjuni usaha yang
memproduksi pangan? Akankah kita mau menggantungkan pangan yang kita butuhkan
dipenuhi 100% dari impor? Bagaimana jika produsen pangan luar negeri dalam
proses produksinya tidak memerhatikan kehalalan dan ke-thayyib-an, karena pada dasarnya mereka tidak peduli halal-haram?
Apa yang akan terjadi jika kita terus menerus impor ternak untuk pelaksanaan
ibadah-ibadah kita? Bagaimana jika mereka menghentikan ekspor pangan dan hasil
olahannya kepada kita? Bagaimana jika mereka menghentikan ekspor ternak hidup
dan produk olahannya kepada kita?
Barat
yang tidak mengimani Allah dan Hari Kemudian terbukti telah merusak tanaman dan
hewan ternak. Aneka benih Genetically
Modified Organisms (GMO) telah diciptakan. Jagung, kedelai, semangka, melon
dan yang lainnya. Dan kita suka dan bangga memakai benih-benih tersebut. Padahal
itu merusak dan berbahaya bagi kita. Juga
tidak kalah mengerikan adalah karena benih tanaman tersebut bersifat Final
Stock (seperti semangka tanpa biji) maka jika kita akan membeli lagi kepada
mereka saat musim tanam tiba. Ketergantungan tercipta. Semakin tergantung,
semakin matilah kita.
Padahal
Allah swt telah mengingatkan kita 14 abad Islam. Allah swt berfirman:
QS.Al-baqarah
[2]: 205. Dan
apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan
kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah
tidak menyukai kebinasaan.
Penahkah
ini terpikir oleh kita, Kawan?
Jalan Lain Menuju Kemandirian
Benih dan Bibit Tanaman dan Ternak
Sejak
dulu upaya untuk menyediakan benih dan bibit unggul baik di tanaman buah,
tanaman pangan dan peternakan sudah diupayakan masyarakat secara mandiri.
Pemerintah pun senantiasa melakukan upaya tersebut dengan menggandeng perguruan
tinggi baik negeri maupun swasta untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Hanya
saja hingga hari ini bisa dikatakan kita belum berhasil.
Di
industri perunggasan ayam “bule” misalnya, sebagai industri peternakan paling
maju dan berkembang di negeri ini, bisa kita jadikan contoh. Sampai hari ini Indonesia
masih impor 100% Grand Parent Stock (GPS)
dan sebagian Parent Stock (PS).
Bagaimana
dengan nasib ayam kampung kita? Sudah kah dihasilkan strain ayam kampung unggul
kelas dunia yang dikembangkan oleh ahli genetika Indonesia dari puluhan kampus
peternakan dan dari peneliti di balai penelitan dan pengembangan ternak di
negeri ini?
Kurma
contoh lainnya. Tanaman ini banyak sekali manfaatnya bagi kesehatan dan
kehidupan umat manusia. Dan Muslim Indonesia yang jumlahnya ratusan juta jiwa
pasti mengkonsumsi buah ini, terutama di setiap Bulan Ramadlan. Pertanyaannya
adalah: mengapa di negeri “yang tongkat kayu jadi tanaman” pohon kurma tidak
ditanam besar-besaran? Mengapa kita
memilih mengimpor 100% buah ini jutaan ton setiap tahunnya dari negeri lain? Lebih
tragis lagi justru ahli pertanian kita saling cekcok dan saling berbantah di antara mereka dengan mengatakan
bahwa kurma tidak bisa berbuah di Indonesia yang tropis. Hingga di suatu masa, akhirnya Malaysia dan
Thailand yang sama-sama di negara tropis berhasil meneliti dan mengembangkan
kurma tropis. Seketika itu terbelalaklah orang-orang Indonesia. Mereka kemudian
berbondong-bondong berkunjung dan belajar ke Malaysia dan Thailand.
Ayam
adalah contoh produk peternakan. Kurma adalah contoh produk perkebunan tanaman
buah. Bagaimana dengan contoh produk
tanaman pangan? Baik kami contohkan. Anda pernah makan mie instan? Jangan ngaku
orang Indonesia kalau tidak pernah makan mie instan. Hehe.
Pernahkah
Anda bertanya dari bahan apakah mie instan dibuat? Yup, dari gandum! Gandum? Ya,
gandum yang tepungnya biasa disebut dengan terigu. Setiap tahun ternyata Indonesia
impor gandum sebanyak 8 juta ton lebih dari luar negeri. Tidak kah gandum
ditanam besar-besaran di Indonesia sehingga impor gandum bisa diminimalisir?
Ternyata tidak.
Ya
allah....apa yang salah dengan negeri kami.
Lalu
apa yang seharusnya kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri menyaksikan
kondisi buruk yang sedang menimpa kita? Ataukah kita akan mengambil peran
menawarkan solusi?
Siapapun
kita sebaiknya bergerak dan mengambil peran. Sekecil apapun itu. Dengan langkah
kecil tersebut insyaallah akan berdampak besar jika dilakukan secara konsisten
dan terarah.
Apa
yang kita siapkan agar memiliki energi besar dan tidak gampang mati? Yup,
ketaqwaan dan keimanan kita lah kuncinya. Dengan modal keimanan dan ketaqwaan itulah
kita akan senantiasa bersemangat untuk beramal sholih.
Di
antara kita mungkin ada yang menyepelekan aktivitas menanam pohon. Padahal
dengan menanam satu pohon saja maka selain bisa menyediakan oksigen bagi 2
orang setiap hari, pohon yang kita tanam juga bisa menghasilkan buah untuk kita
makan dan berbagi kepada lainnya (orang lain maupun hewan [burung, kelelawar,
kupu2]). Jika pohon tersebut tetap hidup dan berbuah serta senantiasa
memberikan manfaat kepada makhluk yang dicipta Allah swt maka pahala investasi
tersebut juga akan terus mengalir kepada kita. Hatta kita telah masuk ke liang lahat.
Iman
dan amal sholih harus menyatu dan beriringan. Tanpa keduanya maka ibarat pohon
tanpa buah. Ya, iman adalah pohonnya. Sedangkan
amal sholih adalah buahnya yang bisa dinikmati oleh orang atau makhluk
lainnya.
Allah
swt berfirman:
QS.AlBaqarah
[2]: 082. Dan
orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka
kekal di dalamnya.
Individu
yang beriman dan bertaqwa tersebut melakukan action sendiri? Sebaiknya jangan!
Sebab, orang yang berbuat kerusakan di darat dan di lautan sungguh jumlahnya
sangat banyak sekali. Sebagaimana diinformasikan di QS.Ar-Ruum: 041. Telah nampak
kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,
agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Oleh
sebab itu, dibutuhkan suatu komunitas supaya aktivitas kita lebih efisien dan
efektif. Di komunitas tersebut dilakukan seruan kebaikan, menyuruh kepada
kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Dengan
komunitas itulah maka tugas itu akan menjadi lebih ringan.
Bagaimana
agar komunitas berhasil dalam action? Syaratnya ada empat: miliki visi yang
jelas, punyai metode yang cemerlang, antara visi dan metode nya nyambung dan tugas
itu harus diemban oleh orang-orang yang disatukan dan diikat oleh ikatan yang
sangat kuat (yakni tauhid/aqidah Islam/iman) bukan ikatan lemah (seperti
nasionalisme, sukuisme, kekeluargaan, kepentingan, dan semacamnya).
Apakah
individu yang bertaqwa dan beriman serta komunitas yang melaksanakan dakwah cukup?
Jelas tidak. Dibutuhkan pula peran negara. Negara atau pemerintah perlu hadir.
Negaralah yang memiliki perangkat lengkap untuk merealisasi tugas ini secara
sempurna. Jika ada orang atau pihak yang dengan sengaja merusak tanaman dan
hewan ternak maka negara bisa memberikan sanksi tegas yang akan membuat jera
mereka.
Negara
dengan modal kapital yang dimilikinya juga bisa menyediakan layanan pendidikan
gratis kepada setiap warga negara agar menjadi ahli di bidang yang diminatinya.
Selain itu, negara juga berhak memaksa warganya di suatu wilayah untuk menjadi
ahli di bidang pangan (perkebunan, pertanian dan peternakan) supaya bisa
memproduksi pangan di wilayah mereka.
Kenapa
dipaksa? Sebab penyediaan pangan bagi penduduk merupakan fardlu kifayah bagi seluruh kaum Muslimin. Jika di suatu wilayah terjadi
kekurangan pangan dan tenaga ahlinya tidak ada, maka seluruh penduduk wilayah
tersebut berdosa. Sebab bagaimana bisa mereka abai terhadap persoalan ini?
Barangkali
di antara Anda ada yang bertanya, “Di manakah negara yang penduduknya diliputi
keimanan dan ketaqwaan, masyarakatnya saling tolong menolong dan senantiasa
memberikan nasihat serta
pemerintah/penguasa nya menjalankan amanah-amanah yang diserahkan kepada
mereka?” Maka kami akan katakan, “Negara
itu pernah ada sepanjang lebih dari 13 abad. Yakni sejak didirikan oleh Nabi Muhammad
saw, diteruskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Serta dilanjutkan oleh
generasi setelahnya mulai dari Bani Umayyah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah. Dan
runtuh Tahun 1924 M”
“Akankah
negara idaman itu akan kembali hadir di tengah-tengah kita?”
Dengan
sangat yakin kami jawab, “Negara Idaman itu pasti akan kembali. Dan hadir di
tengah-tengah kita. Sebab, negara idaman itu menjadi janji Allah swt
sebagaimana tertuang di QS.An-Nuur:55 dan menjadi bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah saw. Percaya atau tidak,
itu kembali kepada kita masing-masing.
Terakhir,
semoga ke depan negeri kita Indonesia Raya menjadi negeri yang diberkahi. Menjadi
negeri subur makmur gemah ripah loh
jinawi yang penduduknya hidup ayem
tentrem kerto raharjo.” Aamiin.
Bisa?
Pasti bisa!
======
*Abdurrahman
Arraushany, merupakan nama pena dari Abdul Rohman, SPt, seorang Fungsional
Pengawas Bibit Ternak (Wasitnak) Ahli Pertama di UPT Pembibitan Ternak dan
Kesehatan Hewan Madura Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur; Konsultan
Peternakan Domba-Kambing di Malang-Jatim; Peternak Domba-Kambing dan Lebah Madu
di Pamekasan-Madura, dan penulis buku ESTELAPETE (Sekali Test Langsung Pecah
Telor, yang berisi Tips dan Trik Agar Test CPNS Lolos Sekali Coba).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar