7 Teknologi PRODUKSI TERNAK Ayam Buras
Untuk Peningkatan laba usaha dan kesejahteraan masyarakat
ABSTRAK
Kata Kunci: ayam buras, teknologi produksi, skolastik, finansial, komunikasi, laba, kesejahteraan peternak
PENDAHULUAN
Penduduk Indonesia Tahun 2019 diperkirakan mencapai 269 juta jiwa dan sekitar 85,2%-nya adalah Muslim (BPS 2019). Sang Pencipta memerintahkan manusia untuk mengkonsumsi pangan halal dan thayyib (aman, sehat dan utuh) agar selamat dunia dan akhirat. Hal ini sejalan dengan syarat pangan yang ditetapkan pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, dengan konsep pangan ASUH (aman, sehat, utuh dan halal).
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Tahun 2019 menginformasikan bahwa hingga hari ini Indonesia masih melakukan importasi ternak dan aneka produk olahannya untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Angka importasinya semakin membesar dari tahun ke tahun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran serta ekonomi masyarakat.
Kementerian
Pertanian beserta dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan
dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia senantiasa berupaya, secara bersama-sama
dengan peternak dan seluruh stakeholder, untuk meningkatkan populasi,
produksi, reproduksi dan produktivitas ternak-ternak di Indonesia. Harapannya
Indonesia kelak mampu secara mandiri memenuhi kebutuhan pangan seluruh penduduknya,
masyarakatnya semakin makmur dan sejahtera, serta bisa menurunkan bahkan
menghapuskan importasi pangan asal
ternak dan bisa menghemat devisa negara. Bahkan jika memungkinkan dilakukan
eksportasi.
Protein hewani asal ternak terbukti mampu menyehatkan dan mencerdaskan umat manusia. Di antara sumber protein hewani asal ternak yang memiliki potensi besar untuk digarap adalah ayam bukan ras (buras).
Ternak unggas, termasuk ayam buras, terbukti mampu menjadi pabrik pangan (daging dan telur) serta pupuk organik dan sarana penyaluran hobi/klangenan dan penghilang stress (Sartika, dkk. 2007).
Sumbangan daging dari ternak unggas secara keseluruhan mencapai lebih dari 80% dari produksi daging nasional. Adapun sumbangan daging dari ayam buras pada Tahun 2018 mencapai 287.160 ton atau 6,01% dari produksi daging nasional dan telur ayam buras mencapai 212.300 ton atau 3,97% dari produksi telur nasional yang dihasilkan dari 300.978.000 ekor ayam buras di Indonesia (Dirjen PKH, 2019).
Meskipun protein hewani asal ternak sangat penting bagi kesehatan dan kecerdasan, sayangnya konsumsi penduduk Indonesia terhadap daging, telur dan susu masih relatif rendah jika dibanding dengan konsumsi protein hewani asal ternak masyarakat di kawasan ASEAN sekalipun. Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara maju (seperti Eropa, Amerika, Australia, Selandia Baru, Jepang dan lainnya).
Dirjen PKH (2019) menyebutkan konsumsi total daging penduduk Indonesia baru mencapai sekitar 12 kg per kap per tahun, konsumsi susu 15 liter per kap per tahun dan telur 105 butir per kap per tahun. Jika diuangkan, jumlah anggaran yang diperuntukkan untuk membeli daging, telur dan susu penduduk Indonesia Tahun 2018 tersebut hanya sebesar Rp 55.202 per kapita per bulan. Atau hanya 4,91% dari pengeluaran bulanan yang sebesar Rp1.124.717,-. Sedihnya, jumlah tersebut kalah dengan pengeluaran masyarakat untuk membeli rokok dan tembakau yang angkanya mencapai Rp.65.439 per kapita per bulan. Atau 5,82% dari pengeluaran bulanan.
Ayam buras merupakan ternak asli/lokal Indonesia yang paling banyak tersebar dan dipelihara oleh penduduk. Hampir di setiap rumah tangga, baik di perdesaaan maupun di perkotaan, memelihara ternak kelas aves ini. Sebab, ayam buras sangat mudah dipelihara, pakan bisa memanfaatkan sisa rumah tangga (dapur dan meja makan), ukuran tubuhnya kecil sehingga tidak membutuhkan tempat yang luas, perkembangbiakkannya sangat cepat dan daging dan telurnya memiliki rasa khas sehingga memiliki pangsa pasar tersendiri yang tak bisa digantikan oleh daging dan telur ternak lain (Sofjan, 2010).
Masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di perdesaan, memelihara ayam buras selain untuk menghasilkan pangan keluarga (daging dan telur), juga menjadikannya sebagai tabungan yang sewaktu-waktu bisa diuangkan. Sofjan (2010) juga menyebutkan bahwa daging dan telur ayam buras bagi masyarakat Indonesia merupakan penganan komplemen atau bisa merupakan penganan khusus. Misalnya telur ayam buras dipakai untuk campuran jamu tradisional. Sedangkan daging ayamnya bisa diolah menjadi ayam panggang, ayam goreng bumbu kelapa dan yang lainnya yang sangat diminati konsumen berpenghasilan menengah dan tinggi.
Walau demikian, masih rendahnya produktivitas dari ternak ayam buras, baik dilihat dari jumlah produksi telur maupun lambannya pertumbuhan bobot badan serta bobot tubuh dewasa, hingga hari ini masih menjadi kendala dalam pengembangan ternak ayam buras.
Sofjan
(2010) menyatakan bahwa produksi telur rata-rata ayam buras di Indonesia umumnya
mencapai 20% (atau 73 butir per ekor per tahun) pada pemeliharaan semi intensif
dan 30% (atau 110 butir per ekor per tahun) pada pemeliharaan intensif.
Sedangkan bobot rataan ayam buras pada umur 3 bulan mencapai 0,8 kg per ekor
pada jantan dan 0,7 kg per ekor pada betina jika dipelihara dengan pola
pemeliharaan semi intensif.
Umumnya, day old chick (DOC) ayam buras relatif sulit diperoleh dalam jumlah besar karena masih terbatasnya breeder skala industri yang menerjuninya. Meski sifat mengeram pada ayam buras sering dikatakan sebagai faktor penyebab rendahnya produksi telur ayam buras, namun sifat mengeram ini juga dianggap menguntungkan oleh sebagian peternak, terutama bagi peternak di perdesaan, yang belum mampu untuk membuat atau membeli mesin tetas.
Untuk pemeliharaan sederhana, Sofjan (2010) berpendapat bahwa ayam buras lebih tahan penyakit dibandingkan dengan ayam ras.
Ayam buras masih prospek untuk diterjuni dan digarap peternak. Agar peternak mampu mendapatkan keuntungan optimal, perlu kiranya dilakukan adopsi teknologi di bidang produksi sehingga peningkatan populasi, produksi, reproduksi dan produktivitas ternak bisa diraih. Melalui makalah ini, insyaallah akan disampaikan teknologi produksi ternak ayam buras yang diharapkan mampu memberikan keuntungan yang optimal bagi peternak.
1. Perkandangan (Housing)
Elizabeth dkk (2012) menyatakan bahwa ada
tiga sistem pemeliharaan ternak ayam buras yang dijalankan peternak di
Indonesia, yakni (1). Ekstensif/tradisional, (2) Semi Intensif dan Intensif. Masing-masing
pola tersebut ada plus minusnya. Namun, jika dibandingkan di antara ketiganya maka
pola peternakan intensif adalah yang terbaik dan paling menguntungkan.
Pola peternakan ekstensif/tradisional di mana
ternak pada malam dan siang hari ada di padang gembala, atau diumbar, tanpa
kandang untuk berteduh dan bermalam, memberikan hasil produksi paling rendah. Pun
ternak relatif rentan terhadap serangan penyakit dan predator. Meski demikian
menurut Nataamijaya (2010) ayam buras dengan pola pemeliharaan umbaran ini masih
mampu menghasilkan 30-40 butir telur setiap tahun dengan bobot badan ayam
dewasa mencapai 1,20-1,50 kg.
Pola peternakan semi intensif dicirikan
bahwa di siang hari ternak diumbar/digembala di pekarangan rumah dan malam harinya
ternak dimasukkan ke kandang. Pola peternakan ini sejalan dengan apa yang
disarankan Allah dan Rasul-Nya di dalam Kitab Al-Quran (baca QS.An-Nahl
[16]:006 dan QS Thaha [20]: 54). Menurut Nataamijaya (2010), sistem
pemeliharan semiintensif ini ternyata mampu meningkatkan produktivitas ayam
buras lebih dari 100% dibanding pola umbaran/ekstensif, dengan kematian menurun
sekitar 20%. Pola semiintensif ini juga
meningkatkan produksi telur sebesar 200% pada Ayam Pelung, dari 30 butir
menjadi 90 butir/ekor/tahun dengan daya tetas mencapai 86,40%.
Adapun pola peternakan intensif, dicirikan
bahwa ayam buras malam dan siang hari senantiasa ada di dalam kandang dan
seluruh kebutuhan ayam buras guna menampilkan performa produksi terbaiknya disediakan
oleh peternak. Nataamijaya (2010) menyebutkan bahwa ayam buras jenis Kedu dan
Sentul dengan pemeliharaan intensif ternyata mampu menghasilkan telur lebih
dari 200 butir/tahun dan 150 butir/tahun. Namun jika dipelihara secara umbaran
hanya menghasilkan 60 butir dan 50 butir setahun. Lebih lanjut, Nataamijaya
(2010) juga menyebutkan bahwa Ayam Pelung dan Ayam Sentul yang dipelihara
secara intensif pada umur 20 minggu bisa mencapai bobot 2,20 kg dan 1,60 kg.
Bandingkan dengan yang dipelihara secara umbaran di umur yang sama hanya
mencapai bobot 1,60 kg dan 1,10 kg.
Sartika (2005) dalam Elizabeth dkk (2012)
melaporkan bahwa dengan adanya perbaikan tatalaksana pemeliharaan dari
tradisional ke intensif pada ternak ayam buras juga dapat meningkatkan daya
tetas sampai 80%, frekuensi bertelur dari 3-4 kali menjadi 7 kali dalam setahun,
dan menurunkan kematian ayam buras hingga 19%.
Di peternakan rakyat kandang ayam buras
biasanya terbuat dari bahan yang tersedia di daerah setempat. Kandang umumnya terbuat
dari bambu atau kayu serta beratapkan genting, asbes atau seng.
Selain tiga pola peternakan ayam buras di
atas, Menurut Sofjan (2010) peternak juga bisa menerapkan pola pemiliharaan all
in all out dan pola campuran (mixing) umur. Sistem pemeliharaan all
in all out sangat baik dilakukan jika kegiatan produksi antar bagian
terpisah di farm yang berbeda. Misalnya untuk ayam buras petelur farmnya bisa
dibedakan menjadi: farm khusus untuk memproduksi telur konsumsi, farm khusus
untuk memproduksi telur tetas, unit hatchery/penetasan, dan farm pembesaran ayam buras/pullet. Sedangkan pola campuran dipilih peternak
sehingga bisa panen dan menjual hasil produksi secara kontinu dan
berkesinambungan
Pakan ternak ayam buras menempati porsi terbesar (60-75%) dari biaya produksi. Oleh sebab itu, peternak harus senantiasa belajar dan mencari terobosan di bidang pakan. Satu di antaranya dengan pemanfaatan aneka limbah industri pangan, limbah perkebunan tanaman buah serta limbah rumah tangga (dapur dan meja makan) untuk pakan ternak.
Bagi peternak yang lebih professional dan
memiliki modal kapital cukup, umumnya memberikan pakan ayam burasnya di masa
awal kehidupan atau masa starter dengan menggunakan pakan pabrikan (misalnya BR1
atau Voer 511). Karena peternak paham bahwa di masa awal kehidupan ayam buras
dibutuhkan nutrisi tinggi (Pakan pabrikan biasanya menganduk PK 21-23% dan EM
2900 Kcal/kg-3200 Kkal/kg). Namun pakan barikan ini dirasa mahal sehingga
dianggap memperkecil keuntungan peternak. Sehingga untuk masa pemeliharaan setelah
itu peternak melakukan mixing dengan cara mencampur pakan pabrikan
dengan bahan baku pakan lokal yang tersedia di daerah setempat. Tujuannya agar
biaya pakan bisa ditekan tanpa berpengaruh terhadap produksi ayam buras.
Langkah tersebut hampir sejalan dengan apa
yang disarankan Nataamijaya (2010). Ia menyarankan bahwa pakan ayam buras
dengan menggunakan pakan pabrikan ayam ras petelur hanya diberikan pada anak
ayam buras sampai umur 1 minggu. Selanjutnya, pakan pabrikan dicampur dengan
dedak halus dengan rasio 1:1, lalu ditambah Ca (2%) dan P (1%). Cara ini dapat
menghemat pakan sebesar 25% dan meningkatkan pendapatan peternak sekitar 30%.
Nataamijaya (2010) juga menyarankan agar
peternak menambahkan vitamin D-3 600 IU/kg pakan untuk mencegah defisiensi
vitamin D-3 sebagai akibat pemberian pakan yang bermutu rendah. Untuk
mempertahankan kualitas telur ayam buras yang dipelihara secara intensif, ia menyarakankan
agar peternak menambahkan Ca dan P dalam pakan dengan rasio 3,40%:1,70%.
Pemberian rumput lapangan dan Rumput Raja (King
Grass) sebanyak 20 gram per ekor per hari juga sangat dianjurkan. Sebab,
rerumputan bisa menjadi sumber xantofil guna mendapatkan warna kuning telur
mendekati warna kuning yang disukai konsumen (skor >9) sehingga nilai
jualnya 10% lebih tinggi. Sedangkan untuk memperbaiki kualitas semen ayam
buras, disarankan agar peternak memberikan vitamin E 8 IU/ekor/hari.
Menurut Natamijaya (2010) kandungan
protein kasar (PK) dan energi metabolis (EM) pada pakan ayam buras sangat
menentukan kualitas pakan, kinerja ayam dan efisiensi produksi. Untuk pemeliharaan intensif ia menyarankan
agar ayam buras diberi pakan dengan kandungan PK 13-15% dan EM 2.400-2.500 Kkal/kg
pakan. Atau disesuaikan dengan tingkat produktivitas dan kondisi lingkungan
setempat. Sedangkan untuk masa pertumbuhan, ia menyarankan agar ayam buras
diberikan pakan dengan kandungan PK 14-18% dan EM 2.600-2.800 Kkal/kg. Optimalisasi
PK dan EM dalam pakan dapat menurunkan harga pakan dan meningkatkan keuntungan
peternak sebesar 10-20%.
Jika peternak mau lebih menurunkan biaya
pakan, sehingga laba usaha semakin membesar, peternak bisa mengganti jagung
dengan tepung sagu sebanyak 20% dari total formula pakan sehingga bisa
menghemat biaya pakan hingga 15% (Nataamijaya, 2010).
Pakan alternatif lainnya untuk ayam buras
yang bisa digunakan peternak di Indonesia adalah bungkil inti sawit (BIS),
lumpur sawit, gliricidia, kulit ubi kayu, eceng gondok, onggok dan cassapro.
Kulit buah kakao (KBK) juga sangat potensial untuk dijadikan pakan ayam buras.
Soeharto dalam Natamijaya (2010) melaporkan KBK yang telah difermentasi bisa
meningkatkan kadar PK dari 9,88% menjadi 17,12% dengan kandunagn EM 2.100
Kkal/kg.
sumber: https://paktanidigital.com/artikel/5-tips-budidaya-indigofera-untuk-dijadikan-pakan-ternak/#.X9rwB9gzbIU
Sumber: http://jualnutrigot.blogspot.com/2017/09/azolla-untuk-pakan-ternak-unggas-dan.html
Terkait dengan frekuensi pemberian pakan
ayam buras sangat bergantung pola peternakan yang dijalankan. Untuk pola
intensif, umumnya peternak memberikan pakan dengan frekuensi 1-3 kali sehari. Sedangkan
untuk pola semi intensif, peternak hanya memberikan pakan sekali di pagi hari
kemudian ayam dilepas untuk mencari pakan tambahan di pekarangan sekitar rumah.
3. Konservasi,
Pembiakan dan Pembibitan (Breeding)
Tatakelola Sumber Daya Genetik Hewan/Ternak
(SDGH/T) sebagaimana amanat UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan dan PP No 48/2011 tentang SDGH dan Perbibitan Ternak, dimaksudkan agar
kita sebagai warga negara Indonesia bisa mensyukuri anugerah Sang Khaliq berupa
kekayaan hayati (terutama fauna) di negeri ini. Bahwa kekayaan tersebut harus
dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pencipta
Yang Maha Menghidupkan telah menciptakan dan mengatur segenap makhluk-Nya, dan
Ia menundukkan semua yang ada di alam semesta untuk kepentingan umat manusia. Penundukkan
apapun yang ada di semesta alam tersebut semata agar manusia sukses menjalankan
dua misi kehidupan: beribadah dan menjadi khalifah (pemimpin, pengganmti,
pengelola, pengurus dan pemakmur) di Bumi (simak QS.An-Nahl [16]: 012-013).
Konservasi (baik insitu maupun eksitu)
dilakukan untuk menyelamatkan dan mempertahankan keberadaan SDGH ternak ayam
buras sehingga bisa tetap lestari dan tidak mengalami kepunahan. Pemerintah mendirikan
Balai Penelitian Ternak (Balitnak) di Ciawi Bogor dan BPTU Sembawa di Palembang
bertujuan untuk mengelola SDGH/T asli/lokal ayam buras Indonesia. Sedangkan di
Jawa Timur, Pemerintah menunjuk UPT Pembibitan Ternak dan HMT Prampelan Magetan
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur untuk melakukan tugas tersebut.
Kegiatan pembiakan ayam buras dilakukan dengan
cara mengawinkan ayam buras baik secara alami (dengan kawin alam menggunakan
pejantan) maupun dengan inseminasi buatan (IB). Hasilnya, sebagaimana yang
dilaporkan Suryana dan Rohaeni (2006) dalam Elizabeth (2012) bahwa ayam buras
yang dikawinkan secara IB dengan pola pemeliharaan semi intensif dan intensif
lebih baik dibandingkan dengan perkawinan alami. Penilaiannya dilakukan dengan menggunakan
parameter produksi telur, fertilitas, daya tetas, dan mortalitas DOC. Masing-masing
angkanya sebesar 23,35%; 80,90%; 45,94%, dan 13,70% (dengan IB) dibanding
21,73%; 76,30%; 27,28% dan 27,10% (dengan kawin alami).
Kegiatan perbibitan mengacu pada kegiatan
utama yakni seleksi ternak dan perkawinan. Nataamijaya (2010) melaporkan bahwa
program grading up Ayam Pelung hingga generasi ketiga terhadap ayam buras non
spesifik (atau ayam kampung) di Sukabumi Jawa Barat menghasilkan keturunan yang
pertumbuhan badannya meningkat 40-60% lebih cepat dibanding ayam kampung
tetuanya. Upaya ini meningkatkan pendapatan peternak lebih dari 50%. Lebih
lanjut, ia juga melaporkan bahwa persilangan Ayam Pelung jantan dengan Ayam Kampung
betina di daerah transmigrasi Batumara Sumatera Selatan menghasilkan keturunan
dengan pertumbuhan 20% lebih cepat di umur 20 minggu dibanding performa ayam
kampung tetuanya.
Gunawan dalam Nataamijaya (2010) juga
melaporkan bahwa generasi pertama (F1) persilangan Ayam Pelung jantan dengan
Ayam Kampung betina menghasilkan pertambahan bobot badan 85,90 gram/ekor/hari
(9%) hingga umur 12 minggu dengan koefisien variasi yang lebih baik (5,95% vs
8,61%).
Adapun kegiatan pembibitan ayam buras merupakan
tindak lanjut dari kegiatan konservasi dan pembiakan. Di mana ternak ayam buras
sudah dilakukan seleksi (dan perkawinan) sebagaimana tujuan yang diharapkan. Sartika
dalam Nataamijaya (2010) melaporkan bahwa dari hasil kegiatan seleksi sifat
mengeram dari ayam kampung didapatkan peningkatan produksi telur dari 29,53%
menjadi 48,89% pada generasi ketiga selama 6 bulan masa produksi.
Sartika (2016) menyebutkan bahwa Ayam KUB
merupakan ayam hasil penelitian Balai Penelitian Ternak, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dengan keunggulan berupa produktivitas telur 160-180
butir per tahun (produktivitas mencapai 50%) dan bobot potong 800-1.000 gram
selama pemeliharaan 10 minggu. Bandingkan dengan ayam buras biasa yang
pencapaian bobot yang sama memerlukan waktu pemeliharaan hingga 16-20 minggu. Ayam
KUB-1 merupakan galur pertama yang dilepas Kementarian Pertanian dari hasil penelitian
Ayam KUB yang berasal dari rumpun ayam buras dengan SK Menteri Pertanian No
274/Kpts/SR.120/2/2014. Hasil penelitian selama lebih dari 15 tahun tersebut
telah menjadikan Ayam KUB sebagai jenis ayam kampung unggul yang saat ini telah
banyak dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Sartika (2016) juga menjelaskan bahwa asal
usul ayam KUB diawali pada Tahun 1997-1998 di Balitnak Ciawi Bogor Jawa Barat,
yang berinisiasi melakukan penelitian pembibitan ayam kampung dengan cara
mendatangkan indukan ayam kampung dari beberapa daerah di Jawa Barat, terutama
dari Cipanas-Cianjur, Jatiwangi-Majalengka, Pondok Rangon-Depok, Ciawi dan
Jasinga-Bogor.
Sedangkan terkait upaya seleksi ayam buras
ke arah pedaging unggul, peneliti dari Fakultas Peternakan Universitas Syiah
Kuala, Dr.Ir.M.Aman
Yaman, M.Agric.Sc perlu dipresiasi. Aman
Yaman (2013) menyatakan bahwa Ayam Lokal Pedaging Unggul (ALPU) merupakan nama
yang dipopulerkan olehnya untuk membedakan antara Ayam Kampung Pedaging
Asli/Lokal, Ayam Ras Pedaging (Broiler) dan ayam-ayam
hasil Crossbreeding lainnya yang menggunakan Ayam Kampung
sebagai pejantan ataupun sebagai induk yang di masyarakat dikenal dengan
istilah Joper (Jowo Super).
Perbedaan ayam ALPU dengan ayam lainnya adalah terletak pada asal-usul genetik dan teknologi pemuliabiakan yang diterapkan. ALPU dicetak melalui proses panjang dari induk dan pejantan yang telah melewati proses seleksi (selection program), termasuk progeni test (alias test kemampuan pejantan yang menjadi tetuanya yang dilihat dari kemampuan anak-anak yang dihasilkannya) pada setiap fase anak yang dilahirkan dan memenuhi kriteria sebagai ayam pedaging yang lebih produktif dibanding ayam asli/lokal lainnya (termasuk dibanding dengan tetuanya).
Prinsip dasar dalam mencetak ALPU adalah melakukan seleksi terhadap induk dan pejantan ayam buras secara berkelanjutan dengan kriteria eksterior ayam potong sehingga menghasilkan keturunan dengan tingkat produksi lebih baik dan karakteristik lebih seragam. Pelaksanaan program breeding-nya dimulai dengan melakukan seleksi bertahap dengan menggunakan parameter yang telah teruji berkorelasi positif dengan kriteria ayam pedaging. Pemilihan parameter eksterior yang menjadi dasar seleksi ALPU juga telah dipertimbangkan atas dasar tujuan seleksi, nilai heritabilitas (angka pewarisan) suatu sifat, nilai ekonomis dari peningkatan sifat, korelasi antar sifat, biaya serta waktu yang dibutuhkan untuk suatu program seleksi.
Adapun sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi yang menjadi tujuan dari program seleksi ternak di antaranya adalah: fertilitas, daya hidup, bobot tetas, pertambahan bobot badan, bobot badan dewasa, masa dewasa tubuh, serta masa dewasa kelamin, tipe serta konformasi tubuh dan kualitas bulu/warna bulu.
Sedangkan prinsip dari methode seleksi ALPU menurut Aman Yaman (2013) adalah ukuran tubuh ayam pedaging yang sangat ditentukan oleh ukuran tubuh induk yang bermutu. Methode yang telah dilakukan oleh Aman Yaman terbukti mampu menghasilkan ayam pedaging yang tumbuh lebih cepat (faster growing chicken) dibandingkan ayam asli/lokal yang seumur. Parameter eksterior yang digunakan yaitu luas tulang kepala, lebar punggung, panjang badan, kedalaman tubuh, lingkar paha dan berat karkas.
4. Penetasan/Hatchery
Untuk kelestarian ayam di Bumi, secara alami, setelah periode masa bertelur berakhir (biasanya sekitar 8-14 hari) induk ayam akan menunjukkan sifat-sifat mengeram. Jika dibiarkan, induk ayam akan mengerami telurnya selama 21-22 hari. Setelah itu, ayam akan merawat anak-anaknya hingga siap disapih sekitar 2-3 bulan paska menetas. (Untuk kasus tertentu ada induk yang merawat anaknya hingga 4 bulan). Lamanya masa mengeram dan merawat anak (3 minggu ditambah 8-16 minggu, total 11-19 minggu) menyebabkan produksi telur ayam buras menjadi rendah.
Untuk memenuhi permintaan konsumen akan
DOC ayam buras, peternak rakyat yang jauh dari kota, dan belum memiliki mesin
tetas, umumnya menitipkan telur ayam burasnya ke itik manila/entog untuk
mengerami telur. Sehingga peternak bisa mendapatkan DOC dengan jumlah yang
lebih banyak (seekor entog mampu mengerami 15-22 butir telur ayam buras).
Bagi peternak yang memiliki modal cukup
dan ilmu beternak mumpuni, demi mencukupi kebutuhan DOC ayam buras yang
harganya per ekornya relatif tinggi (yakni mencapai Rp 6-10 rb per ekor), maka peternak
membuat atau membeli mesin tetas yang disesuaikan dengan kebutuhan. Umumnya mesin
tetas tersebut berkapasitas 50, 100, 500, 1.000, 10.000 butir telur atau yang
lebih dari itu. Mesin tetas tersebut ada yang manual, semi otomatis dan
otomatis.
Iriyanti et al (20017) dalam Elizabeth dkk
(2012) menyebutkan bahwa tolok ukur keberhasilan usaha perbibitan ayam buras
adalah fertilitas, daya tetas telur, dan kualitas anak ayam yang dihasilkan.
Sedangkan Yuwanta (1997) dalam Elizabeth dkk (2012) mengatakan selain yang
sudah disebutkan sebelumnya, tolok ukur
keberhasilan juga dinilai dari nilai gravitasi spesifik. Nilai gravitasi
spesifik diharapkan dapat menjadi parameter seleksi terhadap telur sebelum
ditetaskan sehingga daya tetasnya tinggi dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Telur
yang tidka masuk kriteria untuk ditetaskan bisa dijadikan sebagai telur
konsumsi. Nilai gravitasi spesifik yang tinggi meningkatkan daya tetas telur
rata-rata menjadi 91,67%, sedangkan pada nilai gravitasi spesifik yang rendah
daya tetas telurnya rata-rata hanya 53,05%.
Setelah telur menetas, sebagian peternak sudah memisahkan DOC dari induk dan kemudian memandikan induknya serta menempatkan betina dengan pejantan sehingga dalam waktu 10-37 hari kemudian betina induk bisa bertelur kembali. Terkait dengan sexing, umumnya peternak rakyat tidak melakukan sexing dan memelihara ayam buras dengan sex berbeda pada tempat yang sama. Setelah ayam buras berumur lebih dari 30 hari dan ciri-ciri jantan dan betina nampak jelas, maka peternak memisahkan dan atau tidak memisahkan antar keduanya.
5. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Peternak ayam buras tentu menginginkan ternaknya sehat sehingga bisa berproduksi optimal. Untuk itu, peternak mengupayakan serangkaian kegiatan preventif untuk mencegah timbulnya penyakit dan kegiatan kuratif jika ternak mengalami sakit. Sofjan (2010) menjelaskan bahwa penyakit pada ayam buras bisa muncul disebabkan oleh 3 hal: 1).Kurang atau lebih pakan dan nutrisi, 2).Serangan penyakit dan 3).Kesalahan manajemen
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan
memastikan ketiga penyebab sakit
tertangani sejak dini. Terkait dengan pakan dan nutrisi idealnya ayam
buras diberikan jumlah dan mutu sesuai dengan yang kebutuhan ternak. Untuk ayam buras yang diarahkan sebagai
penghasil telur, pemberian pakan yang berlebih di masa grower bisa menyebabkan
ayam mengalami kegemukan/obesitas yang berdampak pada semakin cepatnya ayam
menghasilkan telur. Namun, jika kegemukan terus berlangsung maka saluran
reproduksi bisa tertutup lemak. Jika terjadi super ovulasi, dan ayam buras
kegemukan, cenderung meningkatkan kasus prolabsus (karena telur yang dihasilkan
double yolk).
Ketika pakan dan nutrisi yang diberikan ke
ternak kurang dari kebutuhan maka cenderung menyebabkan level imunitas ayam buras
menjadi rendah. Hal ini memicu pertahanan ayam buras menjadi jebol dan penyakit
masuk serta menyebabkan ayam dengan angka kesakitan (morbiditas) dan
angka kematian (mortalitas) tinggi. Penyakit ayam buras seperti tetelo/NCD
dan flu burung bisa menyebabkan kesakitan dan kematian hingga 80-100% populasi.
Zainuddin dan Wibawan (2007) dalam Suryana
dkk (2008) menyebutkan bahwa penyakit yang sering menyerang ayam buras adalah
tetelo, gumboro, fowl fox, snot, CRD, avian influenza, pullorum dan koksidiosis.
Untuk mencegah serangan penyakit yang
menyebabkan kerugian tersebut, peternak sebaiknya melakukan vaksinasi. Menurut
Gunawan (2002) dalam Suryana dkk (2008) vaksinasi ND/NCD secara teratur setiap
3 bulan sekali serta pengendalian penyakit cacingan dan desinfeksi kandang
dapat menurunkan mortalitas ayam buras di sistem pemeliharaan tradisional
hingga 50%/tahun.
Menurut Zainuddin dan Wibawan (2007) dalam
Suryana dkk (2008), ada dua cara mengatasi penyakit pada ayam buras, yaitu
dengan program pengendalian dan pembasmian. Pengendalian bisa dilakukan dengan
cara: 1).menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular penyakit berbahaya, 2).
Meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan vaksinasi, pengelolaan dan
pengawasan yang baik, dan 3). Melakukan diagnosa dini secara cepat dan tepat.
Adapun program pembasmian penyakit pada ayam buras bisa dilakukan dengan cara:
1). Test and slaughter (diuji dan disembelih saja jika terjadi kasus
pullorum dan CRD), 2). Test and treatment (diuji dan diobati jika
dianggap perlu), dan 3). Stamping out (jika penyakit menyerang seluruh populasi
di peternakan maka ayam, kandang dan peralatan harus dimusnahkan).
Selain perlu memastikan pakan dan nutrisi yang diberikan ke ternak sesuai
kebutuhan ternak, peternak bisa memberikan feed aditif ke dalam pakan atau
minum ternak. Aneka jamu ternak yang dibuat dari tanaman herbal dan obat yang
ada di lokasi dan sekitar lokasi peternakan bisa dimanfaatkan untuk tujuan
tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang disarankan Suprijatna (2010). Ia
menyarankan agar peternak ayam buras lebih memanfaatkan aneka tanaman
tradisional dalam budidaya ayam buras. Tanaman obat dan herbal yang bisa digunakan
peternak antara lain: lempuyang, kencur, kunyit, lidah buaya, bawang putih,
temu lawak, daun beluntas, daun katuk, daun sambiloto, limbah buah merah dan
lainnya.
Rahayu dan Budiman (2006) dalam Suprijatna
(2010) mengatakan bahwa tanaman obat tradisional mampu meningkatkan performa
dan kesehatan ayam. Namun, masih sedikit informasi mengenai level optimum
penggunaannya untuk dicampur dalam ransum ayam. Terkait dengan penggunaan
lempuyang dan kunyit, Nataamijaya et al (1999) dalam Suprijatna (2010) melaporkan penggunaan lempuyang dan kunyit bisa
menambah nafsu makan ayam, mencegah kejadian serangan penyakit, dan menekan
angka kematian. Bahkan, campuran kunyit dan lempuyang di dalam ransum dapat
digunakan sebagai indikator kesehatan ayam dan penampilan pakan menjadi menarik
dengan warna kekuningan. Selain itu, Jarmani dan Nataamijaya (2001) dalam
Suprijatna (2010) melaporkan bahwa pemberian tepung lempuyang di dalam pakan
dapat meningkatkan pendapatan di atas biaya pakan (income over feed dan cost
ratio).
Rahmawati et al (1999) dalam Suprijatna
(2010) juga melaporkan bahwa dengan menambahkan 0,16% serbuk sambiloto ke dalam
ransum akan cukup efektif untuk menghambat aflatoksin pada jamur sehingga pakan
tidak mudah tengik dan masa simpannya dapat diperpanjang.
Sedangkan kesalahan manajemen penyebab ayam buras menderita sakit sebaiknya bisa dihindari sejak awal dengan memerhatikan bangunan kandang, peralatan dan perlengkapan kandang.
6. Pengolahan Produk dan Penanganan Hasil Samping Peternakan Ayam Buras
Sofjan (2010) mengatakan bahwa selain ayam buras bisa dijual hidup, peternak juga bisa menjual karkas dan potongan karkas (paha, dada, sayap, ceker, kepala, hati, ampela, usus, jantung atau lainnya) di mana masing-masing bagian memiliki harga jual tersendiri. Selain itu, daging dan telur ayam buras juga bisa dibuat aneka olahan agar peternak bisa mendapatkan nilai tambah (value added) atas kegiatan produksinya. Selain bisa dibuat sate, soto, dan ayam panggang, daging ayam buras bisa juga diolah menjadi aneka penganan olahan seperti nugget, sosis, bakso, dan abon.
Terkait dengan limbah peternakan ayam
buras berupa kotoran ternak, peternak ayam buras bisa diolah menjadi pupuk
organik. Peternak bisa membuat bokashi (bahan organik kaya hara dan nutrisi)
untuk dipakai sendiri (untuk menyuburkan lahan dan atau memberi nutrisi pada
aneka tanaman buah, tanaman pangan, bunga, obat, bumbu dan rempah) di kebun
miliknya atau menjualnya ke konsumen untuk mendapatkan keuntungan.
Ketika masa pemeliharaan ayam buras, meski
tidak diharapkan, kadang ada ayam yang mati. Sebagian peternak kemudian memanfaatkan
bangkai ayam untuk pakan lele (dengan menerapkan integrasi ayam buras dengan
ikan dengan sistem longyam). Lele yang diberi pakan berupa bangkai menurut sebagian
ulama dikatakan haram. Sedangkan menurut sebagian ulama lainnya bisa terkategori makruh. Lele hasil
budidaya bisa menjadi halal jika minimal tiga sebelum dikonsumsi diberikan
pakan non bangkai atau pakan pabrikan atau yang lainnya. Ikan yang diberikan bangkai
tersebut dalam kajian fikih Islam disebut sebagai hewan kalalah
Sedangkan limbah rumah potong ayam (RPA),
seperti usus ayam, bisa diolah menjadi penganan lezat bernilai ekonomi tinggi seperti
keripik usus. Pun dengan bulu ayam buras bisa dimanfaatkan sebagai tepung bulu
sebagai bahan baku pakan ternak dengan kandungan protein kasar (PK) lebih dari
80% dan sebagai bahan kerajinan (kemoceng dan bantal).
7. Pemasaran/Penjualan Produk, Aneka Olahan Daging dan Telur Serta Limbah Peternakan Ayam Buras
Haris Islam (2019) menyebutkan bahwa usaha
dan bisnis apapun, termasuk usaha dan bisnis peternakan ayam buras, sukses atau
gagalnya dipengaruhi oleh faktor teknis (20%), Finansial (20%) dan marketing
and selling (60%). Hal ini sejalan dengan pendapat Robert T Kiyosaki, et.al
(2004) meski dengan bahasa yang sedikit berbeda. Kiyosaki mengatakan agar
seseorang mampu meraih sukses maka ia wajib memiliki ilmu dan kecerdasan
skolastik, finansial dan komunikasi. Oleh sebab itu, seorang peternak ayam
buras, beserta teamnya, selain wajib memahami teknis dan finansial, maka wajib belajar
dan memahami bagaimana memasarkan dan menjual produk atau jasa yang dihasilkan.
Dewa Eka Prayoga (2019) menggambarkan laba
suatu usaha dan bisnis ibarat darah bagi tubuh. Peternak ayam buras tidak hanya
memastikan bahwa produknya bisa dipasarkan dan dijual, namun harus pula
memastikan bahwa ia mendapatkan laba dari usahanya (yakni ada selisih antara
penghasilan yang masuk dengan biaya yang dikeluarkan). Lebih jauh, Tom Mc Ifle
(2014) menyebutkan selain laba/profit yang dikejar (dengan mengatakan Profit
is King), maka Tom mewajibkan agar laba yang diterima peternak harus tunai.
Profit is King, Cash is Queen.
Dulu, untuk memasarkan dan menjual produk ayam
buras dan aneka olahannya peternak melakukan pemasaran dan penjualan secara offline.
Umumnya dengan melibatkan pedagang perantara/blantik baik di level desa,
kecamatan, kabupaten atau provinsi. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan
Elizabeth dkk (2012) yang menyatakan bahwa jalur pemasaran ayam buras adalah:
dari peternak, pedagang keliling, pedagang pengumpul, pedagang besar/poultry
shop dan konsumen. Sedangkan Prahmadiya (1999) dalam Elizabeth dkk (2012)
mengatakan bahwa jalur pemasaran ayam kampung dimulai dari peternak (100%),
pengumpul desa (70%), pengumpul wilayah (49%), pengumpul antar wilayah (49%)
dan pengecer atau pengumpul desa (30%).
Zakaria (2004) dalam Elizabeth dkk (2012) melaporkan
bahwa ayam buras yang diperdagangkan sebagian besarnya (70-90%) adalah ayam
buras muda. Itu artinya masyarakat kita lebih menyukai ayam dengan daging empuk
dan tulang muda. Sedangkan terkait
dengan pemasaran DOC, sebagai misal di Ciamis Jawa Barat, Gunawan dan Sundari
(2006) dalam Elizabeth dkk (2012) melaporkan bahwa harga telur dan ayam di
tingkat peternak lebih murah 10-20% dan 5-10% dibanding dengan harga di pasar.
Kini, pemasaran dan penjualan selain bisa
dilakukan secara offline, peternak ayam buras bisa melakukan pemasaran
dan penjualan secara online. Tung Desem Waringin (2010) menyebutkan model M2M atau
mouth to mouth alias mulut ke mulut dalam pemasaran dan penjualan bisa
menjadi strategi ampuh yang bisa dilakukan peternak.
Uniq apa yang dilakukan Bob Sadino (2018) dalam upaya memasarkan dan menjual telur yang dihasilkan dari ayam yang dirawatnya. Caranya ia menyengaja meletakkan satu atau dua butir telur ayam busuk di antara 1 atau 2 kg telur yang dijualnya. Lalu ia memberikan jaminan kepada konsumen jika konsumen menemukan telur busuk dari telur yang ia jual maka pembeli berhak mendapatkan ganti telur baru sebanyak telur yang dibeli konsumen. Cara ini ternyata efektif dan cukup dahsyat karena konsumen yang puas akhirnya menjadi media dalam pemasaran dan penjualan telur milik Bob Sadino.
Kesimpulan dan Saran
Peternak perlu didorong untuk menjalankan usahanya berdasar Good Farming Practices (GFP) dan Good Breeding Practices (GBP) ayam buras agar bisa meraih laba optimal. Dari teknologi produksi ternak ayam buras yang telah dibahas, peternak sebaiknya senantiasa mencari bahan pakan alternatif lokal daerah untuk menekan biaya produksi tanpa mengurangi produktivitas ternak, mengusahakan menetaskan telur dengan mesin tetas dan menerapkan program biosecurity dan vaksinasi untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas.
Peternak selain harus memahami dan memiliki ilmu dan kecerdasan skolastik terkait teknologi produksi ternak, idealnya juga harus memiliki ilmu dan kecerdasan finansial dan komunikasi. Kecerdasan finansial diperlukan agar usaha yang dijalankan populasi ternaknya semakin meningkat dan skala usahanya bergeser dari peternakan rakyat menjadi skala industri. Sedangkan ilmu dan kecerdasan komunikasi diperlukan agar peternak bisa memasarkan dan menjual ayam buras hidup, karkas dan aneka produk olahan serta optimasi limbah sehingga penjualan dan laba sesuai target yang ditetapkan peternak
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2019. Statistika Peternakan 2019. Kementerian Pertanian. Jakarta
Tike Sartika, Kusuma Dwiyanto dan Sofjan Iskandar. 2007. Mengenal Plasma Nutfah Ayam Indonesia dan Pemanfaatannya. Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor
Sofjan Iskandar. 2010. Seri Peningkatan Manfaat Sumberdaya Genetik Ternak Usaha Tani Ayam Kampung. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor.
Achmad Gozali Nataamijaya. 2010. Pengembangan Potensi Ayam Lokal Untuk Menunjang Peningkatan Kesejahteraan Petani. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Bogor.
Roosganda Elizabeth dan S.Rusdiana. 2012. Perbaikan Manajemen Usaha Ayam Kampung Sebagai Salah Satu Sumber Pendapatan Keluarga Petani Di Pedesaan. Workshop Nasional Unggas Lokal. Bogor.
Wara Pratitis S. Suprayogi, Erlyna Wida Riptanti dan Susi Dwi Widyawati. Budidaya Ayam Kampung Intensif Melalui Program Pengembangan Usaha Inovasi Kampus. Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNS. https://journal.uny.ac.id/index.php/inotek/article/view/18917 (diakses Tanggal 06 Desember 2020)
M.Aman Yaman. 2013. Ayam Kampung Pedaging Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta
Suryana dan Agus Hasbianto. 2008. Usaha Tani Ayam Buras Di Indonesia: Permasalahan dan Tantangan. Jurnal Litbang Pertanian, 27(3). 2008. Jakarta
E.Supriyatna. 2010. Strategi Pengembangan Ayam Lokal Berbasis Sumber Daya Lokal dan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Unggas Lokal ke IV, 7 Oktober 2010, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Dirjen PKH. 2014. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. https://ditjenpkh.pertanian.go.id/userfiles/regulasi/abcf589a34b48ddb743ffc5bdfb50d87.pdf (diakses Tanggal 10 Desember 2020)
Direktorat Perbibitan, Dirjen PKH. 2011. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/5181/pp-no-48-tahun-2011 (diakses Tanggal 10 Desember 2020)
Tung Desem Waringin. 2010. Marketing Revolution: Bagaimana Meningkatkan Kekayaan Hingga 2.000% Dalam Waktu 6 Bulan/Kurang Dengan Marketing. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Robert T Kiyosaki. 2004. Rich Dad Poor Dad. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
BPS. 2019. Jumlah Penduduk Indonesia. https://www.bps.go.id/subject/12/kependudukan.html#subjekViewTab3 (diakses Tanggal 10 Desember 2020)
Dewa Eka Prayoga. 2015. 30 Hari Jago Jualan: Rahasia Jualan Laris Tanpa Ngemis-Ngemis. Delta Saputra. Sukabumi.
Dodi Mawardi. 2018. Belajar Goblok Dari Bob Sadino. Elex Media Komputindo. Cetakan ke-4, Maret 2018. Jakarta.
Tom Mc Ifle. 2010. Big Brain, Big Money: 24 Pikiran Terlarang Yang Akan Membuat Anda Kaya Raya. Gramedia Pustaka Utama
Robert T Kiyosaki dan Sharon L.Lechter, C.P.A; 2004. Rich Dad Poor Dad. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Haris Islam, dkk.2019. Marketing Coaching. Sinergy Coach. Surabaya
===
*Abdurrahman Arraushany merupakan nama pena dari Abdul Rohman, SPt. Saat ini sedang menempuh Studi Program Magister Ilmu Ternak di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang. Founder dan Owner dari #Himdafarm The Maru Triad Jamakabe Unit 1 Tuban dan Unit 2 Pamekasan Jatim ini juga merupakan penulis buku #Estelapete, #12KesalahanFatalPeternakPemula dan #RahasiaSuksesBeternakSapiMadura.
Untuk komunikasi lebih lanjut, silahkan save wa.me/6281322313395. Dan jangan lupa add akun Fb @Abdurrahman Ar